The Fed Tahan Suku Bunga di Tengah Ancaman Inflasi dari Tarif Trump

4 Min Read

Pejabat Federal Reserve atau The Fed menyatakan kesiapan mereka untuk mempertahankan suku bunga guna meredam dampak inflasi akibat kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, di tengah kekhawatiran akan pelemahan pasar tenaga kerja. Lewat berbagai pernyataan publik, para pembuat kebijakan The Fed memberikan sinyal kuat bahwa pemangkasan suku bunga sebagai langkah preventif terhadap perlambatan ekonomi tidak menjadi prioritas saat ini.

Sebaliknya, fokus utama mereka adalah menjaga inflasi tetap terkendali dan memastikan ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga tetap stabil. Pendekatan ini membuat The Fed enggan melakukan pelonggaran kebijakan moneter kecuali terjadi lonjakan pengangguran yang signifikan.

Presiden Fed Minneapolis, Neel Kashkari, menyatakan bahwa dampak tarif meningkatkan ambang batas bagi perubahan suku bunga. “Dengan adanya tekanan inflasi jangka pendek akibat tarif, dan pentingnya menjaga ekspektasi inflasi jangka panjang, syarat untuk memangkas suku bunga menjadi jauh lebih ketat,” tulisnya dalam sebuah esai yang dikutip Bloomberg, Kamis (10/4/2025).

Ketua The Fed, Jerome Powell, menyampaikan bahwa otoritas moneter tidak akan terburu-buru mengambil keputusan, sembari memantau dampak dari kebijakan perdagangan yang dinamis. Sejak Trump mengumumkan tarif impor baru pada 2 April, pasar keuangan mengalami volatilitas tinggi. Meski Trump telah membatalkan rencana tarif timbal balik terhadap beberapa mitra dagang utama AS, ketidakpastian tetap membayangi.

Dalam wawancara dengan Bloomberg News, Presiden Fed Cleveland, Beth Hammack, menegaskan pendekatan yang berhati-hati. “Kami perlu menunggu arah kebijakan lebih jelas sebelum bertindak. Lebih baik bergerak lambat tapi tepat ketimbang cepat namun salah langkah,” ujarnya.

Presiden Fed St. Louis Alberto Musalem serta Gubernur Adriana Kugler juga menyuarakan pentingnya menjaga fokus pada inflasi. Meski kondisi pasar tenaga kerja dinilai masih solid, The Fed tetap mengawasi indikator ketenagakerjaan dan tekanan harga secara ketat.

Pergeseran Strategi Trump dan Dampaknya ke Inflasi

Dalam kebijakan tarif terbarunya, Trump menetapkan tarif dasar 10% untuk sebagian besar negara, sambil tetap menaikkan tarif atas barang-barang asal Tiongkok hingga 125%. Hal ini menjaga tekanan tarif secara agregat tetap tinggi, meski terlihat memberi ruang negosiasi bagi negara lain. Dampaknya, rata-rata tarif AS hanya turun tipis menjadi 24% dari sebelumnya 27%, menurut analisis Bloomberg Economics.

Banyak analis menilai peningkatan penggunaan tarif berisiko menekan pertumbuhan dan memicu inflasi. The Fed pun memilih bersikap waspada. Powell mengakui bahwa tarif berpotensi mendorong inflasi sementara, namun tak menutup kemungkinan dampaknya bisa berlangsung lebih lama.

“Powell kemungkinan tengah mengejar stabilitas harga jangka panjang dan tidak ingin menggelar kebijakan pelonggaran sebelum benar-benar diperlukan,” ujar Derek Tang, ekonom di LH Meyer/Monetary Policy Analytics. Ia memperkirakan The Fed tidak akan memangkas suku bunga pada tahun ini.

Tang menyebut ekspektasi inflasi jangka panjang masih relatif stabil. Namun, jika tekanan harga akibat tarif terus meningkat, maka akan semakin sulit bagi The Fed menekan inflasi tanpa risiko kehilangan kredibilitas. Para pejabat bank sentral pun mulai mencermati lonjakan harga barang dan naiknya ekspektasi inflasi di kalangan masyarakat.

Pengalaman buruk saat respons lambat terhadap inflasi pascapandemi menjadi pelajaran bagi The Fed. Setelah berhasil menurunkan inflasi dari puncaknya di 7,2% pada 2022 menjadi 2,5% pada Februari lalu—meski masih di atas target 2%—para pejabat enggan mengambil risiko serupa.

Meskipun gejolak pasar dan menurunnya sentimen konsumen menjadi perhatian, The Fed belum melihat alasan yang cukup kuat untuk mengubah kebijakan. “Kami perlu melihat perkembangan lebih lanjut sebelum mengambil tindakan,” kata Powell pada 4 April.

Pasar keuangan, melalui kontrak berjangka suku bunga, saat ini memperkirakan kemungkinan tiga kali penurunan suku bunga tahun ini. Namun, Jeremy Schwartz, ekonom AS di Nomura, memperkirakan hanya akan ada satu pemangkasan, yakni pada Desember. Menurutnya, inflasi yang masih tinggi dan terus di atas target membuat pelonggaran kebijakan saat ini berisiko terhadap kredibilitas The Fed dalam mengendalikan harga.

Share This Article