Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menegaskan bahwa Indonesia tidak akan berpihak pada salah satu kekuatan besar dunia dalam ketegangan geoekonomi antara Amerika Serikat dan China. Di tengah memanasnya perang dagang dua negara tersebut, pemerintah tetap memegang prinsip diplomasi non-blok.
Dalam pernyataannya di forum HSBC Summit 2025 pada Selasa (22/4/2025), Tommy—sapaan akrab Thomas Djiwandono—mengungkapkan bahwa eskalasi kebijakan tarif resiprokal yang dipimpin Presiden AS Donald Trump telah menimbulkan ketidakpastian besar terhadap prospek ekonomi global.
“Kebijakan ini telah memicu aksi balasan dari negara-negara mitra dagang AS, dengan China sebagai pihak yang paling agresif,” ujar Tommy. Ia mencontohkan bahwa saat ini China telah menetapkan tarif bea masuk sebesar 125% untuk produk asal AS, sementara AS menaikkan tarif impor barang-barang China hingga 145%.
Meski demikian, Indonesia enggan terseret dalam konflik tersebut. “Indonesia adalah negara berkembang besar yang memiliki hubungan perdagangan dan investasi erat dengan kedua negara tersebut,” tegasnya.
Tommy yang juga keponakan Presiden Prabowo Subianto itu menambahkan bahwa selama lima tahun terakhir, AS dan China secara konsisten masuk dalam lima besar investor asing di Indonesia. Investasi dari China lebih banyak mengalir ke sektor mineral dan energi, sementara Amerika Serikat fokus di bidang farmasi dan barang konsumsi.
“Pemerintah akan tetap menjaga keseimbangan hubungan dengan keduanya. Keduanya sama-sama penting bagi pembangunan ekonomi nasional,” tegasnya.
Tommy juga menyoroti dampak sistemik dari kebijakan tarif AS terhadap pola kerja sama global. Menurutnya, tarif tinggi membuat kerja sama antarnegara bergeser dari model multilateral menjadi bilateral. Namun, pendekatan bilateral dinilai lebih sulit karena adanya ketimpangan kekuatan antarnegara.
“Hal ini berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi global,” ucapnya.
Meski dikelilingi ketidakpastian global, Tommy memastikan bahwa fundamental ekonomi Indonesia tetap solid. Ia menyoroti pertumbuhan ekonomi RI yang tercatat sebesar 5,03% pada 2024, inflasi yang rendah di level 1,03% per Maret 2025, serta surplus neraca perdagangan selama 59 bulan berturut-turut.
“Prospek jangka pendek Indonesia masih positif, terutama didukung oleh konsumsi rumah tangga yang kuat dan pemulihan sektor manufaktur,” jelasnya.
Sebagai bukti, Tommy menyebut Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Maret 2025 menyentuh angka 52,4—tertinggi sejak Juni 2024. “Ini mencerminkan adanya peningkatan permintaan dan produksi, baik dari dalam negeri maupun pasar global,” tambahnya.
Dengan tren tersebut, Tommy optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap berkelanjutan sepanjang tahun ini. “Kita berharap output terus meningkat di sepanjang 2025,” tutupnya.