Ekonomi Asia Tenggara Tertekan Tarif AS, Peran China Makin Dominan

4 Min Read

Pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara diprediksi mengalami perlambatan signifikan tahun ini, seiring tekanan dari kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat yang semakin agresif. Meski demikian, China tetap menjadi kekuatan penting yang meredam dampak guncangan ekonomi di kawasan tersebut.

Hubungan erat antara ASEAN dan China yang telah terjalin lama—baik sebagai mitra dagang strategis maupun sebagai basis bisnis perusahaan-perusahaan Tiongkok—membantu menopang ekonomi regional di tengah ketidakpastian global.

Menurut ekonom Bloomberg, Tamara Mast Henderson, ekonomi lima negara utama ASEAN—Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand—diperkirakan hanya tumbuh sebesar 3% pada 2025, anjlok dari 4,5% tahun sebelumnya.

Indonesia sendiri diprediksi tetap terpapar ketidakpastian global, terutama di tengah kekhawatiran terhadap arah kebijakan pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto.

“Pasar mulai melemah, seiring kebijakan fiskal dan non-fiskal yang dinilai kurang tepat, memicu arus keluar modal panas dan menekan investasi langsung asing,” ujar Henderson dalam laporannya.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kini direvisi menjadi 4,9% untuk tahun ini dan 5% pada 2026, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,10% dan 5,15%.

Negara-negara berbasis ekspor seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia dinilai akan paling terdampak oleh ketegangan perdagangan global. Namun, Singapura diperkirakan mampu lebih cepat bangkit berkat populasi kecil yang berpendidikan tinggi serta kekuatan fiskal pemerintahnya.

Di sisi lain, ketegangan dagang meningkatkan risiko serius terhadap industri semikonduktor dan elektronik di kawasan ini, dengan ancaman tarif baru dari AS yang berpotensi menekan pendapatan ekspor.

Investasi China di Asia Tenggara Tetap Melesat

Data dari Rhodium Group mengungkapkan bahwa nilai investasi manufaktur China di Asia Tenggara kemungkinan jauh lebih besar daripada data resmi yang tercatat. Perusahaan riset asal AS tersebut memperkirakan, pada 2023, investasi China mencapai dua kali lipat dari angka yang dilaporkan Sekretariat ASEAN, yaitu sekitar US$6 miliar.

Selain itu, investasi dari Hong Kong dan Singapura masing-masing tercatat sebesar US$7 miliar, yang sebagian besar diyakini berasal dari perusahaan yang berafiliasi dengan China.

Secara keseluruhan, pada 2024, total investasi baru China ke 10 negara anggota ASEAN tercatat sebesar US$10 miliar, turun dari rekor US$12 miliar pada tahun sebelumnya.

Analis Rhodium, Armand Meyer dan Agatha Kratz, menyebutkan bahwa kebijakan tarif AS yang mulai diberlakukan pada 2017 menjadi faktor utama pendorong lonjakan investasi manufaktur China di Asia Tenggara.

Tak hanya sebagai investor, gelombang pertama perang dagang AS-China juga meningkatkan defisit neraca perdagangan Amerika Serikat terhadap ASEAN. Hal ini membuat Presiden Donald Trump mulai membidik negara-negara ASEAN dengan ancaman tarif baru, meskipun kebijakan tersebut akhirnya ditunda 90 hari untuk membuka peluang negosiasi.

ASEAN sendiri, melalui pertemuan para menteri perdagangan pada 10 April lalu, sepakat untuk mengupayakan solusi bersama. Mereka berkomitmen menawarkan kerja sama yang dapat membantu mengurangi defisit dagang AS tanpa melakukan aksi retaliasi.

Dalam pernyataan bersama, mereka menegaskan: “Kami siap bekerja sama secara konstruktif dengan semua mitra, termasuk Amerika Serikat, untuk menemukan solusi seimbang dan berwawasan ke depan yang mendukung ekonomi global yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Sinyal Pelonggaran Moneter Menguat

Di tengah tekanan eksternal, beberapa bank sentral Asia Tenggara mulai mengadopsi kebijakan pelonggaran moneter. Tren inflasi yang mulai terkendali dan stabilisasi nilai tukar memperkuat ekspektasi penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin tahun ini.

Henderson memperkirakan, pada 2026, dinamika perdagangan global akan lebih stabil, mendorong laju pelonggaran moneter yang lebih agresif. Bank Indonesia, misalnya, diprediksi akan kembali memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin, sehingga BI Rate bisa turun ke 5,25% pada akhir 2025.

Saat ini, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% usai rapat dewan gubernur 23 April lalu, sebagai langkah menjaga stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian global.

Share This Article