Harga Minyak Dunia Anjlok Usai OPEC+ Sepakat Naikkan Produksi, Risiko Surplus Pasokan Meningkat

3 Min Read

Harga minyak mentah global tergelincir tajam setelah keputusan mengejutkan dari OPEC+ yang sepakat untuk menaikkan produksi secara signifikan mulai Juni 2025. Langkah ini meningkatkan kekhawatiran atas kelebihan pasokan di tengah permintaan energi yang masih rapuh akibat tekanan perang dagang global.

Mengutip data Bloomberg, Senin (5/5/2025), harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Juni 2025 merosot 3,67% ke level US$56,16 per barel pada pukul 07.15 WIB. Sementara itu, harga minyak acuan global Brent terpantau anjlok 3,41% ke posisi US$59,2 per barel.

Penurunan ini terjadi setelah OPEC+—koalisi negara produsen minyak yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia—memutuskan untuk menambah pasokan lebih dari 400.000 barel per hari mulai bulan depan. OPEC+ juga memberlakukan sanksi terhadap negara anggota seperti Kazakhstan yang tercatat melebihi kuota produksi.

Kebijakan ini menyusul langkah serupa yang diambil bulan lalu, ketika OPEC+ secara tak terduga menggandakan tambahan produksi dari yang sebelumnya direncanakan. Keputusan tersebut mencerminkan percepatan pembalikan strategi pembatasan produksi yang sempat digunakan untuk menjaga harga minyak, namun mengorbankan pangsa pasar kelompok tersebut.

Menurut sejumlah delegasi, Arab Saudi mengisyaratkan bahwa kenaikan serupa kemungkinan besar akan kembali dilakukan dalam waktu dekat.

Dampaknya terasa langsung di pasar, dengan sekitar 182.000 kontrak Brent diperdagangkan hanya dalam 30 menit pertama sesi perdagangan di Asia. Harga minyak sendiri telah berada dalam tren menurun sepanjang 2025, bahkan sempat menyentuh titik terendah empat tahun terakhir pada April lalu.

Situasi ini diperparah oleh kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, yang dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi global, merusak kepercayaan investor, dan menekan permintaan energi.

Ajay Parmar, Direktur Analisis Minyak di ICIS, menilai peningkatan produksi OPEC+ ini sulit diserap pasar. “Pertumbuhan permintaan terlalu lemah, terlebih setelah gelombang tarif baru diterapkan,” jelasnya kepada Bloomberg.

Menanggapi perkembangan ini, Morgan Stanley memangkas proyeksi harga Brent menjadi US$62,50 per barel untuk kuartal III dan IV tahun ini, turun US$5 dari perkiraan sebelumnya. Analis Morgan Stanley, Martjin Rats, menyebut surplus pasokan yang terjadi kini berpotensi membebani harga lebih dalam.

Di sisi lain, penurunan harga energi justru bisa membawa angin segar bagi bank sentral seperti The Fed, yang dijadwalkan menggelar rapat pekan ini. Harga minyak dan bahan bakar yang lebih murah berpotensi menekan inflasi yang selama ini dipicu oleh lonjakan tarif impor.

Presiden Trump sendiri diketahui mendorong OPEC+ untuk meningkatkan produksi demi menurunkan harga energi. Ia dijadwalkan mengunjungi Timur Tengah akhir bulan ini, dalam rangka mempererat hubungan dengan Arab Saudi yang saat ini juga tengah membuka ruang kesepakatan nuklir antara AS dan Iran—rival abadi Riyadh di dalam tubuh OPEC.

Dalam wawancara terpisah dengan NBC, Trump menyatakan kesiapan untuk mempertimbangkan penurunan tarif terhadap China, mengingat tekanan tarif saat ini hampir menghentikan aktivitas dagang antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.

Share This Article