Kesepakatan Amerika Serikat (AS) dan China untuk menurunkan tarif impor secara sementara dinilai dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia. Langkah ini diperkirakan akan melancarkan kembali arus perdagangan global yang sempat terganggu akibat ketegangan tarif kedua negara adidaya tersebut.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyatakan bahwa pelonggaran tarif antara AS dan China akan mengurangi hambatan rantai pasok dunia, sehingga berdampak pada penurunan biaya produksi global. “Pada akhirnya, hal ini bisa memperbaiki iklim investasi dan memperkuat sentimen pasar,” ujarnya, Senin (12/5/2025).
Dari sisi diplomasi, Yusuf menilai bahwa kesepakatan ini mencerminkan sikap fleksibel AS dalam menghadapi kepentingan ekonomi bersama. Oleh karena itu, Indonesia dan negara lain dinilai memiliki peluang untuk menegosiasikan ulang tarif atau perjanjian dagang yang lebih menguntungkan.
Secara khusus, Yusuf melihat dua potensi keuntungan bagi Indonesia. Pertama, meredanya tensi perdagangan dapat meningkatkan minat investor global terhadap pasar negara berkembang yang stabil seperti Indonesia. Kedua, terdapat peluang peningkatan ekspor ke AS dan China, mengingat permintaan bahan baku dari negara ketiga seperti Indonesia bisa meningkat seiring menurunnya biaya produksi di dua raksasa ekonomi tersebut.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa potensi tersebut tidak otomatis menjadi keuntungan. Pemerintah dinilai perlu menyusun strategi ekspor yang cepat dan memperkuat daya saing industri nasional agar tidak hanya menjadi penonton dalam momentum ini.
Senada, peneliti senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, menilai kesepakatan AS-China membuka kembali kran perdagangan global yang sebelumnya tersumbat oleh kebijakan tarif tinggi. “Dengan aliran barang dan jasa yang lebih dinamis, tentu ekonomi Indonesia juga akan terbantu, terutama dari sisi ekspor ke China,” ujarnya.
Deni berharap perlakuan AS terhadap China dapat ditiru dalam hubungan dagangnya dengan Indonesia. Ia menilai, jika AS melunak terhadap Indonesia sebagaimana ke China, maka manfaatnya bisa jauh lebih optimal. Meski begitu, ia juga mempertanyakan sejauh mana daya tawar Indonesia dalam menghadapi AS. “Secara umum ini tetap positif. Tapi kalau AS tidak bersikap serupa kepada Indonesia, ya manfaatnya hanya datang secara tidak langsung lewat China,” jelasnya.
Sebagai informasi, AS dan China telah sepakat untuk menurunkan tarif impor masing-masing negara selama 90 hari, terhitung mulai Rabu (14/5/2025). Berdasarkan pernyataan bersama yang dirilis pada Senin (12/5/2025) usai perundingan dua hari di Jenewa, Swiss, tarif impor AS terhadap produk China diturunkan dari 145% menjadi 30%, sementara tarif China terhadap produk AS dipangkas dari 125% menjadi 10%.
Dalam kesepakatan itu, kedua negara juga sepakat untuk membentuk mekanisme lanjutan guna memperkuat dialog ekonomi dan perdagangan sebelum masa relaksasi tarif berakhir.