Konsep Hypermarket Mulai Ditinggalkan, Minimarket dan Supermarket Kian Dilirik di 2025

3 Min Read

Colliers Indonesia menilai tren penutupan sejumlah gerai ritel besar menunjukkan bahwa konsep hypermarket di Indonesia semakin kehilangan daya tarik. Sepanjang 2025, pelaku usaha ritel, khususnya di segmen makanan dan minuman (food and beverage atau F&B), diperkirakan akan lebih selektif dalam melakukan ekspansi.

Sander Halsema, Head of Retail Services Colliers Indonesia, menjelaskan bahwa berbagai tekanan ekonomi turut memengaruhi kepercayaan konsumen. “Pelemahan nilai tukar rupiah, kekhawatiran terhadap inflasi, hingga ketidakpastian geopolitik global memberi tekanan tersendiri bagi pasar ritel,” ujarnya, dikutip Selasa (12/5/2025).

Selain itu, peningkatan angka pengangguran turut menurunkan daya beli masyarakat. Akibatnya, konsumen cenderung memangkas belanja hiburan dan berfokus pada kebutuhan pokok yang lebih terjangkau.

Hypermarket Tak Lagi Diminati

Menurut Halsema, fenomena penurunan minat terhadap format hypermarket sudah terlihat sejak 2016. Penutupan gerai Giant dan berhentinya ekspansi Lulu Hypermarket menjadi contoh konkret. Bahkan, Lulu saat ini tengah melakukan evaluasi besar-besaran terhadap strategi dan operasionalnya di wilayah Jabodetabek.

Transmart pun diperkirakan akan menutup beberapa gerai dalam waktu dekat. Salah satu penyebabnya adalah tekanan dari minimarket dan supermarket berukuran lebih kecil, seperti Superindo, yang dinilai lebih efisien dan dekat dengan konsumen.

“Dengan ukuran gerai yang lebih kecil, mereka bisa membuka lebih banyak toko di lokasi strategis dengan harga yang lebih kompetitif,” jelasnya.

Halsema juga mengungkapkan bahwa Alfamart akan menutup sejumlah gerai pada akhir 2024. Namun, langkah ini merupakan hasil evaluasi kinerja, diimbangi dengan pembukaan toko baru di area yang lebih prospektif.

Minimarket dan Supermarket Diprediksi Tumbuh di 2025

Meski tantangan membayangi, Halsema tetap melihat adanya peluang pertumbuhan, khususnya bagi minimarket dan supermarket yang menyasar konsumen kelas menengah ke bawah.

Pertumbuhan kelas menengah serta ekspansi kota lapis kedua dan ketiga menciptakan permintaan baru terhadap pengalaman belanja modern. “Minimarket dan supermarket akan menjadi alternatif utama seiring pergeseran konsumen dari pasar tradisional,” kata Halsema.

Sebaliknya, ia tidak melihat ada indikasi kebangkitan hypermarket dalam waktu dekat maupun menengah.

Regulasi dan Lokasi Jadi Kunci Sukses

Dari sisi regulasi, Undang-Undang Omnibus Law dinilai memberi angin segar bagi sektor ritel, terutama bagi investor asing. “UU ini memungkinkan pelaku asing membuka toko kecil dan menghapus sejumlah pembatasan di sektor ritel tertentu,” ujarnya.

Selain itu, penundaan kenaikan tarif PPN yang sempat direncanakan tahun ini, turut memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha di tengah tekanan ekonomi.

Dalam memilih lokasi ekspansi, pelaku ritel cenderung mengincar pusat perbelanjaan besar dengan lalu lintas pengunjung tinggi atau kawasan semi-outdoor yang sedang naik daun seperti One Satrio dan Chillax.

“Lokasi menjadi faktor paling krusial dalam menarik trafik pengunjung. Tentu saja, biaya sewanya juga lebih tinggi,” katanya.

Halsema menambahkan, konsep dan pengalaman berbelanja yang ditawarkan juga tak kalah penting. “Konsumen muda kini mencari pengalaman menarik. Mereka cenderung memilih ritel yang mampu memberikan hal tersebut dibandingkan format konvensional,” pungkasnya.

Share This Article