Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor industri di Indonesia terus menjadi perhatian serius.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, menyampaikan bahwa tren PHK kini tidak hanya terbatas pada industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki, tetapi telah meluas ke sektor lain seperti elektronik, otomotif, media, hingga ritel.
“Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga dirasakan oleh negara-negara lain,” ujar Ristadi pada Rabu (14/5).
Ia menjelaskan bahwa penyebab utama gelombang PHK saat ini adalah melemahnya daya beli masyarakat, baik di tingkat nasional maupun global.
Selain itu, Ristadi mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan data terkait jumlah PHK yang dirilis oleh berbagai pihak. Menurutnya, data versi pemerintah cenderung lebih rendah karena tidak ada proses verifikasi menyeluruh terhadap seluruh perusahaan.
“Faktor lain adalah banyak perusahaan yang tidak terbuka dan enggan melaporkan terjadinya PHK di lingkungan mereka,” tambahnya.
Ristadi juga menekankan pentingnya menjaga kelangsungan industri agar PHK bisa ditekan. Ia menyarankan agar pasar domestik dilindungi dari serbuan barang impor murah yang bisa menggerus produk lokal.
Di sisi lain, dukungan terhadap industri juga perlu diperkuat melalui pembaruan teknologi, pemberian insentif pajak, penetapan harga energi yang kompetitif, dan kebijakan lain yang mendorong daya saing.
“Jika industri bisa bertahan, bahkan berkembang, maka lapangan kerja baru pun bisa tercipta,” pungkasnya.
Berdasarkan data yang dihimpun KSPN, sebanyak 61.356 pekerja dari berbagai sektor telah terkena PHK sepanjang Januari hingga awal Maret 2025.
Sementara itu, data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukkan bahwa 73.992 orang telah keluar dari kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan karena PHK selama periode 1 Januari hingga 10 Maret 2025. Dari jumlah tersebut, 40.683 orang sudah mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT).
Survei yang dilakukan Apindo terhadap 350 perusahaan pada 17–21 Maret 2025 mengidentifikasi beberapa faktor utama penyebab PHK, yaitu penurunan permintaan (69,4%), kenaikan biaya produksi (43,3%), perubahan regulasi ketenagakerjaan termasuk upah minimum (33,2%), tekanan produk impor (21,4%), serta dampak otomatisasi dan teknologi (20,9%).