PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA), emiten tambang bauksit milik Grup Harita, menetapkan target ambisius sekaligus menghadapi tantangan signifikan dalam operasionalnya sepanjang 2025.
Direktur CITA, Yusak Lumba Pardede, menyampaikan bahwa perseroan membidik produksi metallurgical grade bauxite (MGB) sebanyak 4,8 juta wet metric ton (wmt) dan penjualan 4,4 juta dry metric ton (dmt) tahun ini. Target ini didasarkan pada Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang telah disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Kami fokus pada dua IUP utama, yakni IUP 107 dan 108 di wilayah Air Upas,” ujar Yusak dalam paparan publik, Jumat (16/5/2025).
Ia menegaskan, perusahaan akan terus mengoptimalkan operasional tambang secara efisien dan patuh terhadap regulasi pertambangan, untuk meningkatkan nilai tambah dari MGB dan smelter grade alumina (SGA) sebagai bahan baku utama produksi aluminium.
Namun, Yusak memprediksi bahwa pasar alumina global akan menuju kondisi surplus pada tahun ini, seiring mulai beroperasinya sejumlah kapasitas produksi baru di Indonesia dan China. Akibatnya, harga alumina diperkirakan mengalami koreksi dan kembali ke level normal, yang akan berdampak terhadap margin dan profitabilitas perseroan.
Meski demikian, larangan ekspor MGB yang masih berlaku diharapkan mendorong pertumbuhan permintaan terhadap produk turunan bauksit dan alumina di dalam negeri. CITA pun tetap optimistis terhadap strategi jangka panjang yang dijalankan.
“Strategi ini tidak hanya akan menguntungkan pemegang saham, tapi juga memperkuat kontribusi kami bagi pembangunan nasional,” imbuhnya.
Ia menambahkan, peningkatan jumlah smelter alumina dan aluminium dalam negeri diharapkan menciptakan pasar yang lebih stabil dan mendorong serapan hasil tambang bauksit secara maksimal.
Tantangan Hilirisasi
Meskipun prospek hilirisasi cukup menjanjikan, CITA tetap menghadapi sejumlah tantangan serius. Salah satunya adalah kepastian arah kebijakan hilirisasi bauksit.
“Pemerintah, pelaku usaha, dan investor harus bersama-sama mengawal proses hilirisasi agar tidak stagnan,” ujar Yusak.
Ia mengungkapkan, Indonesia memiliki cadangan bauksit yang besar, namun hanya empat smelter yang saat ini beroperasi. Dua di antaranya dikelola anak usaha CITA, yakni PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW) di Ketapang, Kalimantan Barat, sementara dua lainnya adalah PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) di Bintan dan PT Borneo Alumina Indonesia di Mempawah.
Menurutnya, jumlah smelter yang terbatas membuat kapasitas serapan hasil tambang belum optimal. “Hilirisasi sudah berjalan cukup lama. Ini harus dievaluasi secara menyeluruh,” tegas Yusak.
Laba Melejit dan Dividen Jumbo
Dari sisi kinerja keuangan, CITA mencetak laba bersih sebesar Rp2,49 triliun sepanjang tahun buku 2024, melonjak 246% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year). Lonjakan tersebut utamanya ditopang oleh kontribusi laba bersih dari entitas asosiasi, yakni WHW.
WHW saat ini memiliki kapasitas produksi alumina mencapai 2 juta ton per tahun dan menjadi salah satu kontributor utama ekspor alumina Indonesia. Kinerja cemerlang WHW juga terdorong oleh lonjakan harga SGA di pasar global.
Selain itu, efisiensi operasional turut meningkatkan margin laba kotor CITA sepanjang tahun lalu. Berkat performa solid tersebut, CITA kembali membagikan dividen sebesar Rp1,29 triliun atau sekitar 52% dari laba bersih—setara Rp328 per saham.
Adapun pada tahun buku 2024, CITA juga berhasil memenuhi 99% target produksi dan penjualan yang ditetapkan dalam RKAB, masing-masing sebesar 4,77 juta wmt dan 3,65 juta dmt.