Harga batu bara diperkirakan akan kembali melemah pada pekan ini akibat derasnya tekanan sentimen negatif dari sisi permintaan maupun pasokan. Research and Development ICDX, Girta Yoga, mengungkapkan bahwa tren pelemahan ini dipicu oleh lesunya permintaan dari dua konsumen terbesar dunia—China dan India—serta membaiknya pasokan dari produsen utama seperti Indonesia dan Australia. Di sisi lain, munculnya sinyal gencatan dagang sementara antara Amerika Serikat dan China turut memperkuat tekanan terhadap harga komoditas tersebut.
“Harga batu bara saat ini bergerak di rentang resistance US$100–US$102 per ton, dengan support di kisaran US$96–US$98 per ton,” ujar Yoga, dikutip baru-baru ini.
Ia menjelaskan, produksi batu bara di China mengalami kenaikan sebesar 8,1% pada kuartal I/2025. Namun, produksi listrik berbasis fosil justru menurun 4,7% pada periode yang sama, menandakan bahwa pasokan semakin berlimpah di tengah melemahnya konsumsi domestik.
Situasi serupa juga terjadi di India. Produksi batu bara domestik melonjak hingga mencapai 1,05 miliar ton, sementara impor batu bara termal tercatat turun 5% dalam tahun anggaran 2025. “Bahkan, pemerintah India telah menetapkan target ambisius untuk menghapus impor batu bara sepenuhnya mulai tahun depan,” lanjut Yoga.
Dalam sepekan terakhir, harga batu bara tercatat melemah 0,75%. Meski sepanjang Mei masih menunjukkan penguatan sebesar 1,54%, secara year to date (ytd) tren harga masih negatif. “Hingga saat ini, harga batu bara telah turun sekitar 20,55% sejak awal tahun, menandakan tren bearish yang cukup dalam,” tutupnya.