Menteri Pertanian Jepang, Taku Eto, resmi mengundurkan diri dari jabatannya menyusul krisis pasokan beras dan meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap respons pemerintah dalam menghadapi lonjakan harga komoditas pokok tersebut.
Gelombang panas ekstrem yang melanda Jepang dalam beberapa bulan terakhir telah merusak hasil panen dan mendorong harga beras melonjak drastis. Di sejumlah supermarket, harga beras kemasan 5 kilogram kini menembus 4.268 yen atau sekitar Rp484 ribu.
Dalam situasi yang sensitif ini, pernyataan Eto yang dianggap bercanda tentang “tidak pernah membeli beras” memicu kritik keras dari masyarakat.
Ucapan tersebut dinilai tak sensitif dan semakin memperburuk citra pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba, yang kini tingkat dukungannya anjlok ke titik terendah sebesar 27,4 persen, menurut survei Kyodo News. Sekitar 90 persen responden mengaku tidak puas terhadap cara pemerintah menangani krisis ini.
Menanggapi situasi tersebut, PM Ishiba menerima pengunduran diri Eto dan mengumumkan pengangkatan Shinjiro Koizumi sebagai pengganti. Dalam pernyataannya, Ishiba meminta maaf kepada publik atas penunjukan Eto dan menegaskan pentingnya langkah cepat untuk menstabilkan harga beras di tengah gejolak ini.
“Tugas Menteri Pertanian adalah menemukan solusi atas lonjakan harga beras. Saya meminta maaf karena saya yang menunjuknya,” ujar PM Ishiba, dikutip dari AFP.
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa ketahanan pangan adalah isu vital yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Di tengah ancaman krisis pangan global, kehadiran dan kebijakan pemerintah menjadi sangat krusial.
Indonesia Justru Catat Rekor Tertinggi Cadangan Beras
Sementara Jepang bergelut dengan krisis, Indonesia justru mencatat capaian positif di sektor pangan, khususnya beras. Dalam lima bulan terakhir, cadangan beras pemerintah (CBP) melonjak hingga menyentuh angka tertinggi dalam sejarah, yaitu 3,84 juta ton.
Tak hanya itu, laporan USDA Rice Outlook edisi April 2025 memproyeksikan produksi beras Indonesia akan mencapai 34,6 juta ton, naik 4,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Capaian ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan produksi beras tertinggi di kawasan ASEAN, bahkan berhasil membalikkan tren impor sebelumnya.
Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman, menegaskan bahwa persoalan pangan tidak bisa dianggap sepele, karena berkaitan langsung dengan stabilitas nasional.
“Jika pangan bermasalah, maka negara pun ikut terdampak. Karena itu, seluruh pihak harus bersinergi memastikan produksi stabil, stok mencukupi, dan masyarakat terpenuhi kebutuhannya,” jelas Amran.
Pemerintah juga telah menjalankan sejumlah strategi untuk memperkuat ketahanan pangan, mulai dari optimalisasi lahan pertanian, pencetakan sawah baru, hingga penyesuaian kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) dan peningkatan distribusi pupuk bersubsidi.
Kinerja sektor pertanian ini turut mendapat apresiasi dari masyarakat. Berdasarkan survei Litbang Kompas pada Januari 2025, sebanyak 80,9 persen responden di 38 provinsi menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan saat ini, khususnya dalam pengelolaan sektor pangan.
Ke depan, Kementerian Pertanian menargetkan swasembada beras yang lebih kokoh dan berkelanjutan.
“Produksi saat ini sangat baik dan cadangan beras nasional berada pada rekor tertinggi. Kami optimis bisa mencapai target 4 juta ton CBP dalam waktu dekat,” pungkas Menteri Amran.