Harga emas global berhasil bangkit dan menguat signifikan sepanjang pekan ketiga Mei 2025, diperdagangkan di atas level psychological US$3.300 per troy ounce. Kenaikan ini didorong oleh berbagai sentimen, termasuk ketegangan geopolitik, dinamika fiskal Amerika Serikat, dan rilis data ekonomi yang beragam. Analis memproyeksikan harga emas berpotensi naik sekitar 3% selama sepekan.
Analis Senior Dupoin Futures Indonesia, Andy Nugraha, menjelaskan bahwa volatilitas harga emas cukup tinggi dalam sepekan terakhir. Lonjakan sempat terjadi usai Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana pemotongan pajak yang berisiko menambah utang nasional hingga US$3,8 triliun dalam 10 tahun. Hal ini turut mendorong Moody’s menurunkan peringkat kredit AS, mencerminkan peningkatan risiko fiskal.
“Kondisi ini menjadi sinyal bagi investor untuk kembali ke aset aman seperti emas,” ungkap Andy, Jumat (23/5/2025). Tak hanya itu, eskalasi konflik di Timur Tengah dan ketegangan perdagangan AS-China juga memperkuat permintaan terhadap logam mulia.
Namun, Andy mengakui bahwa data PMI manufaktur dan jasa AS yang membaik menekan harga emas dalam jangka pendek karena meningkatkan optimisme pemulihan ekonomi. Pasar kini terbelah antara ekspektasi stabilitas ekonomi dan kekhawatiran fiskal jangka panjang.
Secara teknikal, Andy menilai tekanan jual masih terbatas dan pasar menunjukkan pola wait and see. Jika sentimen risk-on kembali mendominasi dan dolar AS menguat, harga emas bisa terkoreksi menuju US$3.070. Sebaliknya, jika berhasil menembus resistance di US$3.405, harga emas berpotensi melesat hingga US$3.500, terutama jika dipicu pelemahan dolar AS atau ketegangan geopolitik baru.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Doo Financial Futures Ariston Tjendra menilai tren penguatan harga emas masih terbuka luas. Menurutnya, tingginya permintaan dari bank sentral global, perang di berbagai belahan dunia, dan potensi pemangkasan suku bunga acuan The Fed menjadi faktor pendukung kuat.
“Masalah global tak kunjung reda, sehingga pasar mencari alternatif aman seperti emas,” ujarnya. Ia menyarankan strategi investasi jangka panjang dengan membeli saat harga terkoreksi.
Prospek Cerah Saham Tambang Emas
Kebangkitan harga emas turut mendorong saham emiten tambang logam mulia seperti PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM), PT Bumi Resources Minerals Tbk. (BRMS), dan PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA).
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer menuturkan, sentimen dari defisit fiskal AS dan penurunan sovereign credit rating oleh Moody’s kembali memposisikan emas sebagai aset safe haven. Ini secara historis berdampak positif pada pergerakan saham-saham tambang emas.
Dalam sepekan terakhir, saham ANTM melonjak 18,56% ke level Rp3.130 per saham, BRMS naik 6,67% ke Rp384, dan MDKA menguat 5,43% ke Rp2.040. Meskipun demikian, Miftahul mengingatkan bahwa tantangan tetap ada, terutama dari sisi biaya produksi dan eksekusi proyek.
“Emiten seperti ANTM dan MDKA punya keunggulan lewat diversifikasi ke logam lain seperti nikel dan tembaga, yang bisa menjadi penyangga bila harga emas terkoreksi,” jelasnya. BRMS juga berpotensi menarik jika ekspansi tambang berjalan sesuai rencana.
Senada, analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan menilai bahwa kekhawatiran terhadap kemampuan fiskal AS dan pembelian emas oleh bank sentral mendorong arus masuk ke instrumen emas, termasuk ETF.
“Ini memperbesar kemungkinan stagflasi, yang mendukung harga emas,” tulis mereka dalam riset terbaru. ANTM menjadi salah satu saham yang terdongkrak arus beli asing, dengan net buy mencapai Rp881 miliar dalam sepekan.
Meski harga emas sempat terkoreksi akibat meredanya tensi geopolitik, potensi penguatan jangka menengah hingga panjang tetap terbuka. Investor disarankan mencermati momen reversal maupun breakout sebagai sinyal arah harga berikutnya.