Pasar saham Indonesia memulai bulan Juni 2025 dengan performa yang kurang menggembirakan. Sejumlah faktor turut menyeret indeks ke zona merah, mulai dari aksi ambil untung (profit taking) hingga ketidakpastian geopolitik dan perang tarif global.
Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup anjlok sebesar 1,54% atau turun 110,75 poin ke posisi 7.065,07 pada hari Senin (2/6/2025).
Bahkan, pada sesi pertama perdagangan, IHSG sempat terkoreksi hingga 1,70%, mencatatkan penurunan harian terdalam sejak 8 Mei 2025. Sejauh ini, secara year-to-date (ytd), IHSG telah melemah sebesar 0,21% dari posisi awal tahun.
Penurunan ini juga tercermin pada saham-saham berkapitalisasi besar dengan nilai transaksi tinggi. Saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) merosot 3,19%, sementara PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) mengalami koreksi sebesar 4,25%. Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) jatuh 5,62%, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) juga turun 2,67%.
Di sisi lain, arus modal asing menunjukkan tren keluar. Investor asing membukukan net sell harian sebesar Rp2,8 triliun. Secara kumulatif, sepanjang 2025, nilai jual bersih asing telah mencapai Rp47,99 triliun.
Felix Darmawan, Analis Riset Ekuitas Panin Sekuritas, menjelaskan bahwa koreksi tajam IHSG dipicu oleh sejumlah sentimen negatif.
Menurutnya, setelah mencatatkan reli 6% selama Mei 2025 — kenaikan bulanan tertinggi sejak 2009 — pasar mulai mengalami kejenuhan beli. “Investor mengambil kesempatan untuk merealisasikan keuntungan,” ujar Felix.
Di samping itu, ketidakpastian terkait kebijakan tarif di Amerika Serikat juga turut memperburuk sentimen. Mahkamah Perdagangan AS sempat membatalkan sejumlah tarif era Presiden Donald Trump, namun keputusan tersebut kemudian dibatalkan oleh pengadilan banding, yang memicu ketidakpastian baru di pasar global.
Situasi geopolitik yang kembali memanas antara Rusia dan Ukraina juga menambah tekanan, menciptakan kekhawatiran terhadap kestabilan global.
Dari dalam negeri, para pelaku pasar menantikan data inflasi dan neraca perdagangan yang akan dirilis dalam waktu dekat. Ketakutan terhadap potensi deflasi dan penurunan surplus perdagangan turut mempengaruhi pergerakan indeks.
“IHSG dalam jangka pendek diperkirakan akan bergerak dalam rentang 7.000–7.150. Tekanan jual masih mungkin berlanjut jika data ekonomi tidak sesuai harapan,” tambah Felix.
Namun, jika Bank Indonesia memberikan sinyal pelonggaran kebijakan moneter, maka ruang penguatan IHSG masih terbuka.
Liza Camelia Suryanata, Kepala Riset Kiwoom Sekuritas, menyebut penurunan indeks hari itu lebih dipengaruhi faktor eksternal, terutama meningkatnya konflik Rusia-Ukraina yang membuat investor beralih ke aset aman seperti emas dan obligasi AS.
Selain itu, data indeks PMI bulan Mei yang dirilis di bawah ekspektasi dan neraca perdagangan yang tidak sesuai harapan, memperburuk suasana pasar.
“Inflasi yang menurun di bawah perkiraan bisa menjadi indikator melemahnya konsumsi masyarakat,” ujarnya.
Meski begitu, Liza menyatakan bahwa Juni 2025 tetap membawa peluang positif bagi pasar saham domestik, didorong oleh potensi stimulus fiskal, kestabilan moneter, serta penguatan nilai tukar rupiah. Jika The Fed bersikap lebih dovish, peluang IHSG menembus 7.300 cukup terbuka, apalagi jika arus modal asing kembali masuk ke pasar.
Namun, ia mengingatkan agar pelaku pasar tetap waspada terhadap dinamika global dan ketidakpastian arah suku bunga. Pergeseran sektor diprediksi akan mengarah ke sektor konsumsi, keuangan, dan mobilitas.
Angga Septianus, Community dan Equity Analyst Lead dari IndoPremier Sekuritas, menambahkan bahwa tekanan terhadap bursa saham Asia, termasuk Indonesia, tak lepas dari meningkatnya ketegangan antara AS dan China terkait sengketa tarif.
“Isu ketegangan dagang yang kembali muncul antara dua negara raksasa ini menambah tekanan negatif pada indeks,” ujarnya.
Sementara itu, data PMI Manufaktur Indonesia versi S&P Global menunjukkan angka 47,4 di Mei 2025 — naik dari 46,7 pada April tetapi masih berada di zona kontraksi. Selain itu, data inflasi bulan Mei menunjukkan adanya deflasi, yang sebagian disebabkan oleh normalisasi harga pangan pasca Ramadan dan Idulfitri.