Prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 semakin mendapat sorotan setelah sejumlah lembaga internasional secara kompak memangkas proyeksi mereka. Tak hanya tekanan dari dalam negeri, ancaman eksternal seperti tarif dagang Donald Trump juga menjadi faktor yang membayangi laju ekonomi nasional.
Yang terbaru, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan dari 4,9% menjadi 4,7%. Pemangkasan ini menjadi yang kedua kalinya dilakukan oleh OECD sepanjang 2025. Dalam laporannya, OECD menilai bahwa meningkatnya ketegangan dagang global dan penurunan harga komoditas berpotensi menekan permintaan eksternal dan pendapatan ekspor nasional.
“Pertumbuhan PDB riil diperkirakan akan melambat menjadi 4,7% pada tahun 2025 sebelum sedikit meningkat ke 4,8% pada 2026,” tulis OECD dalam laporannya yang dikutip Kamis (5/6/2025).
Selain tekanan ekspor, risiko pelemahan rupiah akibat aliran modal keluar yang dipicu ketidakpastian kebijakan global dan domestik juga dapat memperbesar defisit transaksi berjalan serta mendorong inflasi melalui kenaikan biaya impor. Ketergantungan Indonesia terhadap China sebagai pasar ekspor utama menambah tekanan, terlebih jika ekonomi Negeri Tirai Bambu melambat lebih tajam dari ekspektasi.
OECD juga memperkirakan inflasi akan naik secara bertahap ke titik tengah target Bank Indonesia, didorong oleh berakhirnya diskon tarif listrik serta dampak depresiasi rupiah terhadap harga domestik.
Bank Indonesia dan Lembaga Global Ikut Pangkas Proyeksi
Bank Indonesia (BI) turut merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi RI untuk 2025 dari kisaran semula 4,7%–5,5% menjadi 4,6%–5,4%. Penyesuaian ini disampaikan langsung oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur, Rabu (21/5/2025). Ironisnya, revisi ini muncul di saat BI justru merevisi ke atas proyeksi ekonomi global dari 2,9% menjadi 3%.
Bank Dunia juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 dari 5,1% menjadi 4,7% dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025. Ketidakpastian kebijakan perdagangan global dan pelemahan harga komoditas dinilai menjadi hambatan utama pertumbuhan, meski stimulus fiskal dan reformasi struktural dinilai dapat mengurangi tekanan tersebut.
Bank Dunia juga mencatat bahwa pembentukan lembaga investasi Danantara akan mendorong peningkatan investasi secara bertahap, sementara konsumsi rumah tangga tetap kuat meski terkendala oleh minimnya penciptaan lapangan kerja berkualitas.
Dalam aspek fiskal, defisit APBN 2025 diperkirakan melebar menjadi 2,7% dari PDB—lebih tinggi dibandingkan 2,3% tahun lalu—karena peningkatan belanja untuk program-program prioritas pemerintahan baru. Sementara itu, rasio utang pemerintah diproyeksikan stabil di sekitar 40,1% dari PDB hingga 2027, dengan bunga utang mencapai 19% dari total penerimaan negara. Defisit transaksi berjalan juga diperkirakan meningkat menjadi 1,7% dari PDB pada 2027.
Lembaga keuangan global lainnya, Dana Moneter Internasional (IMF), ikut menyesuaikan proyeksi Indonesia. Dalam World Economic Outlook edisi April 2025, IMF memotong proyeksi pertumbuhan ekonomi RI dari 5,1% menjadi 4,7%. Hal ini sejalan dengan pelemahan ekonomi di kawasan ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) yang diperkirakan hanya tumbuh 3% pada 2025, turun dari 3,6% pada 2024.
IMF mencatat bahwa implementasi tarif resiprokal oleh pemerintahan Trump berdampak negatif terhadap aktivitas perdagangan global. Pertumbuhan perdagangan dunia bahkan diperkirakan merosot dari 3,8% menjadi hanya 1,7% tahun ini. Meski ada potensi pengalihan perdagangan, mayoritas negara diperkirakan justru mengalami penurunan permintaan eksternal dan harga komoditas.
Ekonom: Proyeksi Pelemahan Pertumbuhan Masih Masuk Akal
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih lambat dari OECD tergolong realistis. “Setelah momen Lebaran, dorongan konsumsi rumah tangga melemah. Walaupun pemerintah menyalurkan insentif dan bantuan di Juni ini, efektivitasnya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan,” ujarnya, Rabu (4/6/2025).
Bhima juga menyoroti bahwa beberapa insentif seperti diskon tarif tol atau tiket pesawat cenderung dinikmati oleh kelompok menengah ke atas dan tidak menyasar masyarakat luas. “Jadi tidak memberikan stimulus ekonomi yang bersifat universal coverage,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI sepanjang 2025 hanya akan berada di kisaran 4,5%–5%, turun dari estimasi awal 5,11%. Ia menilai bahwa kondisi ini membuka ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter. “Jika ketidakpastian global mereda dan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed menguat, Bank Indonesia dapat memangkas suku bunga acuan hingga 50 basis poin tahun ini,” ujarnya.
Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, menyebut bahwa Indonesia masih menunjukkan ketahanan ekonomi yang solid meski diterpa tantangan global. Menurutnya, perlambatan pada kuartal I/2025 yang mencatatkan pertumbuhan 4,87% merupakan bentuk normalisasi dari pertumbuhan sebelumnya 5,02%. Ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stabil di kisaran 4,93% sepanjang 2025, dengan catatan bahwa respons kebijakan stabilisasi harus terukur dan terkoordinasi.