Bursa saham Amerika Serikat (AS) mencatat reli signifikan sepanjang pekan lalu, dengan indeks S&P 500 untuk pertama kalinya ditutup di atas level 6.000 sejak Februari 2025. Kinerja positif Wall Street dipicu oleh laporan ketenagakerjaan yang lebih kuat dari perkiraan, meredam kekhawatiran pasar atas kondisi ekonomi AS.
Mengutip Reuters, Senin (9/6/2025), selama periode 2–6 Juni 2025, S&P 500 melonjak 1,5%, Dow Jones Industrial Average menguat 1,17%, dan indeks teknologi Nasdaq mencatat kenaikan tertinggi sebesar 2,18%. Pada perdagangan Jumat, semua indeks utama ditutup di zona hijau: Dow Jones naik 1,05% ke 42.762,62, S&P 500 menguat 1,03% ke 6.000,32, dan Nasdaq melonjak 1,20% ke 19.529,95.
Laporan Departemen Tenaga Kerja menunjukkan penambahan 139.000 lapangan kerja pada Mei, melebihi proyeksi 130.000 meskipun masih di bawah revisi April sebesar 147.000. Tingkat pengangguran tetap di 4,2%, sejalan dengan ekspektasi analis.
Pasca rilis data tersebut, pelaku pasar mulai mengurangi ekspektasi akan pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat oleh The Fed. Berdasarkan kontrak suku bunga berjangka, pasar kini memperkirakan pemangkasan pertama kemungkinan baru terjadi pada September, dengan proyeksi maksimal hanya satu kali penurunan suku bunga hingga akhir tahun.
“Kami memperkirakan The Fed akan menahan suku bunga pada pertemuan bulan ini. Siklus pelonggaran moneter mungkin baru berlanjut jika pasar tenaga kerja menunjukkan pelemahan lebih lanjut,” ujar Lindsay Rosner, Kepala Investasi Pendapatan Tetap Multi-sektor di Goldman Sachs Asset Management.
Meski S&P 500 berhasil menembus level psikologis 6.000, indeks tersebut masih 2,3% di bawah rekor penutupan tertinggi yang tercapai Februari lalu. Chief Investment Officer Plante Moran Financial Advisors, Jim Baird, menyebutkan bahwa investor tetap bersikap waspada di tengah ketidakpastian arah kebijakan ekonomi. “Pasar sedang menanti arah yang lebih jelas meskipun ada pemulihan tajam dari posisi terendah April,” tuturnya.
Wall Street Pekan Ini: Sorotan ke Data Inflasi dan Tarif Trump
Ketidakpastian pasar sebagian besar bersumber dari dampak kebijakan tarif yang diumumkan Presiden Donald Trump sejak awal April, yang ia sebut sebagai “Hari Pembebasan.” Meski sebagian rencana tarif dilonggarkan, pasar masih mencermati dampak lanjutan terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Fokus pekan ini tertuju pada rilis Indeks Harga Konsumen (CPI) Mei yang akan diumumkan Rabu. Data inflasi tersebut dinilai krusial dalam menentukan arah kebijakan suku bunga The Fed jelang rapat pada 17–18 Juni mendatang. “Jika inflasi jangka pendek kembali naik, hal itu bisa mengikis daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan,” kata Baird.
Jay Woods, Chief Global Strategist di Freedom Capital Markets, menyebutkan jika inflasi ternyata lebih jinak dari ekspektasi, pasar bisa menguji kembali rekor tertingginya. Sejauh ini, S&P 500 telah naik 2% sepanjang 2025, dan melonjak lebih dari 20% sejak titik nadir pada 8 April.
Investor juga mengawasi pembahasan RUU pemangkasan pajak dan belanja besar yang sedang digodok di Senat AS. Meski dinilai bisa merangsang pertumbuhan ekonomi, rencana tersebut memicu kekhawatiran atas membengkaknya defisit fiskal. “Semakin besar beban utang, semakin besar dampaknya terhadap laju pertumbuhan,” ujar Kristina Hooper, Chief Market Strategist di Man Group.
RUU itu bahkan memicu konflik terbuka antara Presiden Trump dan CEO Tesla, Elon Musk. Mantan sekutu Trump tersebut menyebut RUU sebagai “aib yang menjijikkan,” sementara Trump menyatakan kekecewaannya atas pernyataan Musk yang berseberangan secara publik.
Di sisi lain, masa jeda 90 hari atas tarif baru Trump akan berakhir 8 Juli. Tiga menteri utama kabinet AS dijadwalkan bertemu dengan delegasi China di London hari Senin untuk melanjutkan pembahasan kesepakatan dagang. “Kebijakan dari Washington masih menyisakan banyak tanda tanya,” tutur Bob Doll, Chief Investment Officer di Crossmark Global Investments.