Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menunjukkan perbedaan mencolok dalam pendekatan terhadap hasil negosiasi dagang antara kedua negara yang berlangsung di London pekan ini. Trump tampil percaya diri dengan mengklaim bahwa kesepakatan telah “SELESAI”, sementara Xi memilih jalur yang lebih hati-hati dan strategis dengan memperpanjang proses perundingan.
Dalam pernyataannya melalui media sosial, Trump mengumumkan bahwa China telah sepakat memulihkan pasokan rare earth atau mineral tanah jarang—komoditas vital bagi industri otomotif dan pertahanan AS. Ia juga berjanji mencabut pembatasan visa bagi pelajar China. Tak lama sebelumnya, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menyatakan bahwa Washington bersedia melonggarkan pembatasan teknologi apabila pasokan logam penting tersebut kembali lancar.
Namun, China mengambil posisi yang berbeda. Melalui editorial resmi People’s Daily yang terbit Kamis (12/6/2025), pemerintah China menyatakan belum memberlakukan kontrol ekspor dan justru menyoroti dibentuknya “jaminan institusional” dalam bentuk mekanisme konsultasi bilateral di Jenewa. Dalam pembicaraan telepon dengan Trump sebelum pertemuan London, Xi disebut menekankan pentingnya kerangka kerja ini.
Perbedaan strategi ini mencerminkan dua gaya diplomasi ekonomi yang bertolak belakang. Trump menginginkan penyelesaian cepat dan langsung antar pemimpin, sementara Xi lebih mengandalkan kerja birokratis untuk menghindari kejutan diplomatik.
Pendekatan Xi yang lebih sabar dan sistematis mengingatkan pada pola dalam perjanjian dagang “Fase Satu” yang baru tercapai menjelang akhir masa jabatan pertama Trump. Menurut Christopher Beddor, Wakil Direktur Riset China di Gavekal Research, Xi sedang memainkan strategi jangka panjang. “Tidak adanya batasan masa jabatan membuat Xi bisa berpikir jauh ke depan, tidak seperti Trump yang dibatasi waktu politik,” ujarnya dikutip Bloomberg, Jumat (13/6/2025).
Strategi China: Tahan Tekanan, Kelola Waktu
Lambannya proses negosiasi memberi ruang bagi Beijing untuk mengukur intensitas tekanan dari Washington, meskipun ketidakpastian berkepanjangan mempersulit dunia usaha. Xi bahkan mengambil langkah tidak biasa dengan langsung menelepon Trump, melewati jalur diplomatik formal yang selama ini dijalankan pejabat senior seperti Jake Sullivan dan Wang Yi di era pemerintahan Biden.
Pertemuan di Jenewa bulan lalu yang sempat menghasilkan pernyataan bersama langsung kehilangan legitimasi setelah AS menuduh China gagal memenuhi komitmen pelepasan ekspor logam tanah jarang. Meski Beijing menegaskan bahwa prosedur perizinan tetap berjalan, perusahaan-perusahaan AS mengeluhkan proses yang terlalu lambat hingga menghambat produksi mereka.
Dalam wawancara dengan CNBC International, Howard Lutnick menyatakan bahwa China akan menyetujui seluruh permintaan magnet dari perusahaan AS. Namun klaim ini dinilai terlalu ambisius dan rawan menimbulkan kekecewaan.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Perdagangan China, He Yadong, menegaskan bahwa negaranya akan mempertimbangkan secara menyeluruh kebutuhan global dalam sektor sipil dan sedang memperkuat mekanisme persetujuan ekspor.
Arthur Kroeber, salah satu pendiri sekaligus Kepala Riset Gavekal, menilai China memang sengaja menjaga kerahasiaan strateginya. “Beijing memiliki fleksibilitas besar dalam mengatur rejim ekspor dan bisa memainkan taktik membuka izin secara terbatas agar pasokan tetap ada, tapi tidak cukup untuk menciptakan kelebihan yang bisa dimanfaatkan spekulan,” ujarnya.
Tarif Tambahan dan Tenggat Politik
Kebingungan makin besar setelah Trump mengklaim bahwa China kini menghadapi tarif gabungan hingga 55%, termasuk tambahan 20% yang dikenakan terkait isu fentanyl. Namun Lutnick mengisyaratkan bahwa tarif tersebut bersifat final dan masa tenggang 90 hari menuju Agustus tidak akan mempengaruhi kebijakan tarif AS. Sikap keras ini dinilai bisa mengurangi insentif bagi Beijing untuk memberikan konsesi tambahan.
Meski ekspor China ke AS tercatat anjlok 34% pada Mei 2025, tekanan justru meningkat di pihak Trump yang dihadapkan tenggat internal hingga 9 Juli untuk menyelesaikan serangkaian kesepakatan dagang dengan berbagai negara, atau bersiap kembali menggulirkan tarif besar-besaran.
Trump bahkan mengancam akan mengirim surat ultimatum kepada negara-negara mitra: “Ini kesepakatannya—terima atau tinggalkan.” Sebagai tanda kompromi, tim Trump kali ini bahkan terbuka untuk membahas kontrol ekspor, sebuah isu yang sebelumnya dianggap tabu karena berkaitan langsung dengan keamanan nasional.