Ketegangan geopolitik Timur Tengah kembali mengguncang pasar energi global. Harga minyak mentah melonjak tajam menyusul serangan militer Israel terhadap Iran.
Harga minyak mentah dunia kembali melonjak tajam setelah Israel melancarkan serangan militer skala besar terhadap Iran. Aksi ini memicu respons keras dari Iran dan meningkatkan kekhawatiran terganggunya pasokan energi global.
Berdasarkan data dari Trading Economics, harga minyak mentah melonjak 6,78% dalam 24 jam terakhir ke level US$ 72,7 per barel pada Jumat (13/6) pukul 16.31 WIB. Dalam sepekan, harga komoditas ini telah melesat hingga 12,2%.
Israel mengklaim telah menargetkan sejumlah fasilitas strategis milik Iran, termasuk lokasi pengembangan nuklir, pabrik rudal balistik, dan markas militer. Operasi tersebut disebut sebagai upaya jangka panjang untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir.
Fasilitas nuklir Iran di Natanz dilaporkan mengalami kerusakan, namun belum ditemukan indikasi kontaminasi radioaktif atau kimia di area sekitar.
Kekhawatiran terbesar pasar saat ini adalah potensi terganggunya jalur distribusi minyak global, terutama Selat Hormuz—jalur vital bagi sekitar 20% konsumsi minyak dunia, atau setara 18–19 juta barel per hari, termasuk kondensat dan bahan bakar.
“Belum ada dampak langsung terhadap arus pengiriman minyak di kawasan tersebut,” kata Ole Hvalbye, analis SEB, dikutip dari Reuters.
Meski begitu, analis Rystad Energy, Janiv Shah, menilai bahwa reli harga minyak ini masih bersifat sementara. “Sinyal kami menunjukkan bahwa risiko perang skala besar cukup rendah, sehingga kenaikan harga ini kemungkinan akan menghadapi resistensi,” ujarnya.
Shah juga menambahkan, ekspor minyak Iran sebagian besar mengalir ke China, sehingga negara tersebut paling berisiko bila situasi memburuk. Namun demikian, kapasitas cadangan dari OPEC+ bisa menjadi penyeimbang jika terjadi gangguan pasokan.
Sementara itu, ketegangan geopolitik ikut mengguncang pasar global. Saham global tercatat melemah, sementara arus modal mengalir ke aset safe haven seperti emas dan Franc Swiss.
Analis ICDX, Yoga Tirta, menyebutkan bahwa faktor lain yang turut mendorong harga minyak adalah meredanya tensi dagang antara Amerika Serikat dan China. “China menegaskan komitmen terhadap konsensus dagang yang telah disepakati bersama AS,” tulis Yoga dalam riset hari Jumat (13/6).
Di sisi lain, JP Morgan dalam laporan terbarunya pada Kamis (12/6) tetap mempertahankan proyeksi harga minyak untuk jangka pendek hingga menengah di kisaran US$ 60 per barel hingga 2026. Namun, bank investasi ini juga mengingatkan bahwa dalam skenario terburuk, harga minyak bisa melonjak hingga dua kali lipat dari proyeksi tersebut.