AS Gempur Iran, Sentimen Pasar Memburuk — Investor Diminta Waspada

4 Min Read

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah memerintahkan serangan militer terhadap tiga lokasi nuklir di Iran. Langkah ini memicu kekhawatiran besar di kalangan investor global, terutama karena Amerika terlihat semakin terlibat dalam konflik di kawasan Timur Tengah.

Para pelaku pasar menilai keputusan AS yang memilih bersekutu dengan Israel untuk menggempur Iran berpotensi memperuncing ketidakpastian global dan mendongkrak harga minyak mentah. Situasi tersebut diprediksi dapat memperburuk kondisi ekonomi dunia.

- Advertisement -

“Pasar akan semakin diliputi ketidakpastian, apalagi dengan banyaknya warga AS yang kini lebih terekspos risiko. Volatilitas, khususnya di sektor energi seperti minyak, bisa meningkat tajam,” ujar Mark Spindel, Chief Investment Officer di Potomac River Capital, dalam wawancara dengan Reuters, Minggu (22/6/2025).

Di sektor energi, konflik ini sudah menunjukkan dampaknya. Harga minyak mentah Brent sebagai acuan global mengalami kenaikan sebesar 18% sejak 10 Juni 2025, dan menyentuh level tertinggi lima bulan di angka US$ 79,04 per barel pada 19 Juni.

Dalam skenario terburuk, harga diperkirakan bisa meroket hingga US$ 130 per barel, yang berpotensi mendorong inflasi di AS mendekati 6% pada akhir tahun.

- Advertisement -

“Ketegangan ini menambah kompleksitas baru bagi investor. Selain berdampak pada harga energi, juga bisa mempercepat laju inflasi,” terang Jack Ablin, Kepala Investasi di Cresset Capital.

Indonesia Perlu Siaga Hadapi Imbas Global

Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, memperingatkan bahwa Indonesia tak boleh bersikap pasif dalam menyikapi perkembangan ini. Menurutnya, dampak dari konflik tersebut tidak hanya terbatas pada kawasan Timur Tengah, tetapi juga bisa mengguncang stabilitas ekonomi dan geopolitik negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Ini saatnya pemerintah mengambil langkah konkret. Jangan hanya membuat pernyataan simbolik. Presiden bersama jajaran terkait harus menyiapkan strategi menghadapi lonjakan harga minyak,” tegas Syafruddin.

Ia juga menyoroti ketergantungan Indonesia terhadap impor energi, yang bisa menjadi beban fiskal besar bila harga minyak menyentuh angka US$ 100 per barel. Terlebih, lonjakan harga sudah mulai terlihat pasca serangan Israel ke Iran.

“Jika pemerintah menunda reformasi subsidi energi, defisit APBN bisa makin melebar,” tambahnya.

Syafruddin juga menyarankan agar Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan memperkuat koordinasi demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dalam kondisi global yang tidak menentu, potensi keluarnya dana asing (capital outflow) bisa memperlemah kurs dan mendorong inflasi.

“Moneter harus lebih aktif, dan komunikasi kebijakan perlu diperjelas agar pasar tidak panik,” ujarnya.

Pertumbuhan Ekonomi Terancam Melambat

Senada dengan itu, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menilai konflik yang terus meluas di kawasan Timur Tengah dapat mengerek harga minyak secara signifikan. Dampaknya, biaya impor BBM akan melonjak saat daya beli masyarakat justru sedang lemah.

“Inflasi yang ditimbulkan bukanlah jenis inflasi yang sehat. Kenaikan harga BBM akan mendorong biaya produksi dan menekan konsumsi masyarakat,” jelas Bhima.

Ia memperkirakan jika konflik berlangsung lebih lama, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa anjlok ke level 4,5% secara tahunan. Target pertumbuhan ekonomi 5% pun menjadi sulit tercapai.

“Dengan tekanan dari luar negeri yang begitu besar, serta keterbatasan fiskal pemerintah, mencapai pertumbuhan 8% tampaknya makin jauh dari harapan,” tutupnya.

Share This Article