Bahlil Tinjau Tambang Nikel di Raja Ampat, Ini Profil 5 Perusahaan yang Beroperasi

4 Min Read

Polemik tambang nikel di Raja Ampat kembali mencuat setelah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia melakukan inspeksi langsung ke lokasi tambang PT Gag Nikel, Sabtu (7/6/2025).

Kunjungan tersebut dilakukan di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, untuk memastikan kondisi operasional tambang serta merespons kekhawatiran masyarakat terhadap dampak lingkungan di kawasan wisata ikonik tersebut.

- Advertisement -

“Saya datang ke sini untuk mengecek langsung. Saya melihat secara objektif dan hasilnya nanti dicek oleh tim inspektur tambang,” ujar Bahlil dalam pernyataan resminya.

Di kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menegaskan bahwa tidak ditemukan masalah berarti di area pertambangan PT Gag Nikel.

“Dari pemantauan udara, sedimentasi di pesisir tidak terlihat. Jadi secara keseluruhan, tambang ini tak bermasalah,” ujarnya.

Meski demikian, Tri memastikan pihaknya tetap menurunkan tim inspektur untuk menilai seluruh wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) di Raja Ampat. Evaluasi ini akan jadi dasar bagi Menteri ESDM dalam mengambil keputusan.

Berikut profil kelima perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat:

- Advertisement -

1. PT Gag Nikel

PT Gag Nikel adalah satu-satunya perusahaan di Raja Ampat yang saat ini beroperasi aktif dan memiliki status Kontrak Karya (KK). Perusahaan ini memiliki izin seluas 13.136 hektare berdasarkan Akta Perizinan No. 430.K/30/DJB/2017 yang berlaku hingga 2047.

Awalnya, saham mayoritas PT Gag Nikel (75%) dimiliki Asia Pacific Nickel (APN) Pty. Ltd asal Australia, sedangkan 25% milik PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM). Namun sejak 2008, Antam mengakuisisi seluruh saham APN sehingga kini Gag Nikel sepenuhnya dikuasai BUMN.

Perusahaan ini juga termasuk dalam 13 entitas yang diperbolehkan melanjutkan kontrak karya di kawasan hutan berdasarkan Keppres No. 41/2004.

2. PT Anugerah Surya Pratama (ASP)

ASP merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang beroperasi di Pulau Manuran, Raja Ampat. Anak usaha dari PT Wanxiang Nickel Indonesia ini terafiliasi dengan grup tambang asal Tiongkok, Vansun Group.

KLH mencatat ASP melakukan penambangan seluas 746 hektare tanpa sistem pengelolaan lingkungan yang memadai. Bahkan, ditemukan kerusakan settling pond yang mengakibatkan sedimentasi di laut.

Kegiatan ASP dinilai melanggar UU No. 1 Tahun 2014 terkait pengelolaan pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir.

3. PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)

Didirikan pada Agustus 2023, KSM mengantongi IUP dari Bupati Raja Ampat berdasarkan Keputusan No. 210 Tahun 2013. Luas wilayah konsesinya mencapai 5.922 hektare, berlaku selama 20 tahun.

KSM sudah mulai operasi penambangan pada 2024 di Blok C seluas 89,29 hektare. Namun, KLH menemukan bahwa KSM membuka lahan di luar izin lingkungan seluas 5 hektare. Kegiatan ini menimbulkan sedimentasi di pesisir dan mengganggu ekosistem mangrove di Pulau Kawe.

4. PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)

MRP mengantongi IUP seluas 2.194 hektare yang mencakup Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Perusahaan memulai eksplorasi pada Mei 2025 dengan aktivitas pengeboran coring.

Sayangnya, KLH menemukan MRP beroperasi tanpa Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Akibatnya, perusahaan dijatuhi sanksi administratif dan denda karena melanggar ketentuan persetujuan lingkungan.

5. PT Nurham

PT Nurham tercatat sebagai pemegang izin tambang nikel di Raja Ampat, namun belum ada informasi publik terkait aktivitas produksinya. Perusahaan ini terdaftar dalam sistem pengadaan elektronik Pemprov Papua, meski detail kontraknya tidak tersedia secara terbuka.

Share This Article