Bali di Ambang Krisis Pariwisata, Ini Respons Gubernur

5 Min Read

Industri pariwisata di Bali tengah menghadapi tantangan besar. Tak hanya persoalan kemacetan, sampah, dan perilaku tidak tertib dari wisatawan, Pulau Dewata kini dihadapkan pada maraknya usaha pariwisata yang dikendalikan oleh warga negara asing. Fenomena ini berdampak langsung pada pelaku usaha lokal, terutama UMKM, yang mulai merasa terpinggirkan secara ekonomi.

Menanggapi situasi ini, Gubernur Bali Wayan Koster mengadakan rapat darurat bersama seluruh kepala daerah dan instansi vertikal se-Bali di Jayasabha, Denpasar, pada Sabtu, 31 Mei 2025. Rapat tersebut digelar setelah muncul berbagai keluhan dari masyarakat mengenai menjamurnya bisnis pariwisata milik asing yang merusak keseimbangan ekonomi lokal.

- Advertisement -

Dalam pernyataannya pada Minggu (1/6/2025), Koster menegaskan bahwa kondisi tersebut sangat merugikan masyarakat lokal dan dapat membuat mereka tersingkir di wilayahnya sendiri. Untuk mengatasi hal itu, rapat membahas evaluasi terhadap sistem perizinan dan regulasi sektor pariwisata sebagai langkah awal pembenahan.

“Bali tidak boleh dijadikan ajang pasar bebas yang menyingkirkan penduduknya sendiri,” ujar Koster, politisi dari PDI Perjuangan.

Ia mengungkapkan banyak praktik usaha ilegal oleh warga negara asing yang memanfaatkan celah pada sistem perizinan berbasis Online Single Submission (OSS). Celah ini memungkinkan investor asing menguasai sektor-sektor vital, bahkan hingga skala kecil seperti jasa penyewaan kendaraan dan penginapan.

“Contohnya di Badung, ada sekitar 400 izin usaha sewa mobil dan agen perjalanan yang dikelola oleh orang asing. Banyak dari mereka tidak memiliki kantor, bahkan tidak berdomisili di Bali, namun tetap bisa beroperasi. Ini sungguh keterlaluan,” katanya.

Koster menyebut praktik semacam ini tidak hanya melanggar etika usaha, tetapi juga menimbulkan ketimpangan sosial dan merusak perekonomian lokal. Ia memperingatkan bahwa jika dibiarkan, Bali bisa mengalami kemunduran signifikan dalam lima tahun ke depan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun citra pariwisatanya.

- Advertisement -

“Masalah pariwisata kita kompleks—macet, sampah, vila ilegal, sopir liar, wisatawan yang tidak tertib. Penataan harus dimulai dari akar masalah, yaitu regulasi dan sistem perizinan,” tambahnya.

Sebagai tindak lanjut, Pemprov Bali akan membentuk tim lintas lembaga untuk mengaudit seluruh izin usaha pariwisata. Selain itu, regulasi baru tengah disiapkan untuk memberikan perlindungan lebih besar kepada pelaku usaha lokal.

Langkah awal dimulai dengan penerbitan Surat Edaran Penertiban Usaha dan Transportasi Wisata. Surat ini akan menjadi dasar pelaksanaan operasi gabungan oleh Satpol PP dan Polda Bali.

Gubernur juga mengajukan kebijakan baru yang mewajibkan semua agen perjalanan menjadi anggota asosiasi lokal. Pemerintah akan melakukan verifikasi lapangan guna memastikan perusahaan yang terdaftar di OSS benar-benar eksis dan bukan hanya nama di atas kertas.

“Bali memang kecil, tetapi kontribusinya besar untuk Indonesia. Kita tak hanya bersaing antar daerah, tapi juga dengan negara lain seperti Thailand dan Malaysia. Kalau tidak tertib, kita akan dikalahkan di kandang sendiri,” tegasnya.

Langkah ini disambut positif oleh pelaku usaha lokal, yang melihatnya sebagai bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil. Mereka berharap upaya ini mampu menghentikan dominasi bisnis asing dan mengembalikan peran utama warga lokal dalam industri pariwisata.

Investor Asing Dominasi Pasar Vila dan Homestay, PHRI Angkat Bicara

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Prof. Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati, turut menyuarakan kekhawatiran serupa. Ia mengungkapkan bahwa investor asing kini semakin gencar mengincar pasar vila dan homestay, yang sebelumnya menjadi ladang usaha bagi pelaku lokal.

“Ini tak lepas dari kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan nilai investasi asing terlalu rendah, sehingga mudah dijangkau investor luar,” ujarnya pada Kamis (29/5/2025).

Akibatnya, pelaku usaha menengah ke bawah, bahkan hotel-hotel besar, tertekan oleh modal asing yang kuat, sistem perizinan yang longgar, serta jaringan pasar global yang mereka kuasai.

Tingginya keterlibatan investor asing di sektor vila dan homestay berdampak pada tingkat hunian hotel. Meskipun jumlah wisatawan ke Bali meningkat, tingkat okupansi hotel tidak menunjukkan peningkatan serupa.

Tjok Oka menjelaskan empat alasan utama mengapa okupansi hotel menurun. Pertama, Bali dijadikan titik transit oleh wisatawan yang bertujuan ke daerah lain seperti Gili Lombok dan Labuan Bajo.

Kedua, kedatangan kapal pesiar pasca-revitalisasi Pelabuhan Benoa hanya tercatat sebagai kunjungan, tanpa menyumbang pada tingkat hunian karena wisatawan tetap menginap di kapal.

Ketiga, pertumbuhan vila ilegal yang pesat di Bali. Dan keempat, adanya kebijakan efisiensi anggaran dari pemerintah pusat yang berdampak pada penurunan kegiatan di sektor perhotelan.

Wilayah yang paling merasakan dampaknya adalah Nusa Dua di Kabupaten Badung, yang mengalami penurunan okupansi 10-12 persen karena sangat tergantung pada kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Sementara itu, kawasan seperti Sanur di Denpasar dan Ubud di Gianyar masih relatif stabil.

Share This Article