Di tengah tekanan yang membayangi industri batu bara global, investor institusi kelas dunia seperti BlackRock Inc. justru masih menambah kepemilikannya di saham PT Bukit Asam Tbk. (PTBA), meskipun sejumlah analis menyerukan untuk menahan hingga melepas saham emiten pelat merah ini.
Saham PTBA tercatat menguat 2,2% dalam sebulan terakhir dan naik 1,45% sejak awal tahun (year-to-date/YtD), seiring dengan mulai meredanya aksi jual di pasar saham domestik. Berdasarkan data Bloomberg, BlackRock menambah lebih dari 2,78 juta lembar saham PTBA hingga menjelang akhir Mei 2025. Kini, total kepemilikan BlackRock di saham PTBA mencapai 166.047.164 saham per 21 Mei, dengan harga rata-rata pembelian di Rp1.933,88 per saham.
Namun demikian, BlackRock juga sempat melepas lebih dari 5,1 juta saham sejak kuartal I/2025, setelah sebelumnya secara konsisten menambah portofolionya sejak kuartal III/2024. Vanguard Group Inc., institusi global lainnya, juga diketahui mulai mengurangi kepemilikan sahamnya di PTBA sebesar 2,27 juta saham sejak kuartal I/2025. Saat ini, Vanguard menguasai 156.979.647 saham PTBA.
Prospek Suram dan Rekomendasi Analis
Dalam riset KB Valbury Sekuritas yang dirilis Rabu (21/5/2025), analis Laurencia Hiemas merekomendasikan “sell” dengan target harga turun drastis dari Rp2.820 menjadi Rp1.700 per saham. Ia menilai tekanan harga batu bara akibat kelebihan pasokan global menjadi katalis negatif utama.
Laporan kinerja kuartal I/2025 PTBA menunjukkan pendapatan turun 11% secara kuartalan menjadi 10,3 juta metrik ton, meskipun masih tumbuh 6% secara tahunan. Penurunan disebabkan oleh harga jual rata-rata yang turun 1% (YoY) menjadi sekitar Rp950.000 per ton. Di sisi lain, beban operasional meningkat seiring dengan naiknya harga bahan bakar, dicabutnya subsidi B40, serta pelemahan rupiah.
Akibatnya, laba bersih PTBA anjlok 50,5% menjadi Rp391 miliar dibandingkan Rp791 miliar pada kuartal I/2024. Padahal konsensus memperkirakan pertumbuhan laba bersih sebesar 8,3%–10,7%.
Analis Devi Harjoto dari OCBC Sekuritas menyampaikan bahwa tren harga batu bara cenderung melemah sepanjang 2025, dipengaruhi oleh moderasi permintaan dari China dan ketidakpastian geopolitik, termasuk perang dagang AS-China. Menurutnya, penjualan domestik akan menjadi andalan PTBA tahun ini, meskipun berisiko menurunkan harga jual rata-rata.
OCBC merekomendasikan “hold” dengan target harga dinaikkan dari Rp2.640 menjadi Rp2.950. Dukungan utama datang dari proyek kereta api Tanjung Enim–Keramasan yang dijadwalkan beroperasi pada kuartal II/2026 dan diharapkan dapat menekan biaya logistik serta meningkatkan efisiensi operasional.
Risiko dari Perubahan Regulasi
Sementara itu, Panin Sekuritas menurunkan rekomendasi saham PTBA menjadi “hold” dengan target harga Rp2.800, mengacu pada lemahnya permintaan ekspor dari India dan China, yang masing-masing menyumbang 13,7% dan 1% dari total ekspor PTBA. Analis Andhika Audrey juga menyoroti risiko dari implementasi Harga Acuan Batu Bara (HBA) yang menggantikan Indonesia Coal Index (ICI). Perubahan ini dapat menyebabkan kontrak ekspor menjadi kurang kompetitif, mengingat 90%-95% pelanggan ekspor PTBA masih memakai ICI hingga April 2025.
Peluang di Pasar Domestik
Berbeda dengan pandangan pesimistis sejumlah analis, Sukarno Alatas, analis senior di Kiwoom Sekuritas, menilai bahwa pasar domestik masih menjanjikan bagi emiten batu bara seperti PTBA. Ia menyoroti permintaan yang kuat dari dalam negeri dan peluang ekspansi ke pasar non-tradisional.
“Sektor batu bara masih punya prospek dari permintaan domestik dan ekspansi ke negara baru. Tapi tantangannya adalah harga global yang lemah, transisi ke energi bersih yang cepat, dan cuaca ekstrem,” ujarnya kepada media, Kamis (19/5/2025).
Kiwoom Sekuritas merekomendasikan “hold” untuk saham PTBA dengan target harga Rp3.100. Meski laba kuartal I/2025 tertekan, PTBA dinilai masih menarik karena memiliki kontrak jangka panjang dengan PLN, dividend yield tinggi, serta sedang merambah ke sektor energi baru dan hilirisasi batu bara seperti gasifikasi.