Cuan atau Buntung? Ini Fakta Mengejutkan di Balik Investasi Emas

4 Min Read

Emas yang selama ini dikenal sebagai primadona investasi ternyata menyimpan potensi kerugian besar jika tidak dikelola dengan bijak. Meski saat ini minat masyarakat terhadap logam mulia sedang memuncak seiring kenaikan harga, bukan berarti investasi emas selalu menjanjikan cuan.

Fenomena ini tergambar jelas di Butik Emas Antam Pulo Gadung, Jakarta Timur. Pantauan pada Selasa (15/4/2025) menunjukkan antrean panjang sejak pagi hari, bahkan sebelum toko resmi dibuka pukul 08.30 WIB.

Abdul, petugas keamanan di lokasi, mengungkapkan bahwa lonjakan pengunjung meningkat signifikan sejak usai Lebaran. Untuk mengatasi kerumunan, Antam membatasi jumlah pembeli maksimal 200 orang per hari, dengan sistem antrean yang dibuka sejak pukul 06.00 WIB.

Meski permintaan tinggi, harga emas Antam tercatat tidak mengalami perubahan pada hari itu. Berdasarkan data dari laman resmi Unit Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia Antam, harga emas ukuran 0,5 gram dijual Rp998.000, sedangkan untuk 1 gram senilai Rp1.896.000.

Untuk ukuran yang lebih besar, harga berkisar dari Rp9.255.000 untuk 5 gram hingga Rp1.836.600.000 untuk 1.000 gram. Sementara itu, harga buyback atau jual kembali turun tipis Rp1.000 ke level Rp1.745.000 per gram.

Harga Emas Tak Selalu Naik, Risiko Kerugian Nyata

Data historis menunjukkan bahwa harga emas tidak selalu bergerak naik. Berdasarkan informasi dari Terminal Bloomberg, harga emas pada 15 April 1997 berada di level US$342,05 per ons. Menariknya, enam tahun kemudian, tepatnya pada 7 Mei 2003, harga kembali ke level yang sama. Artinya, dalam periode tersebut investor tidak mendapatkan keuntungan meski memegang emas selama bertahun-tahun.

Lebih ekstrem, harga emas sempat jatuh ke US$252,55 per ons pada Agustus 1999, yang berarti kerugian sekitar 26% jika dibeli pada 1997. Namun, bagi investor jangka panjang, imbal hasilnya tetap menggiurkan. Hingga 15 April 2025, harga emas melonjak ke US$3.228,65 per ons, mencerminkan kenaikan spektakuler sebesar 843,91%.

Fluktuasi Harga Emas Dipengaruhi Sentimen Global

Ariston Tjendra, Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, menjelaskan bahwa pergerakan harga emas sangat bergantung pada sentimen ekonomi global. Salah satu faktor besar saat ini adalah kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat yang dilontarkan Presiden Donald Trump.

Menurutnya, harga emas bisa melonjak hingga Rp2,3 juta per gram bila ketidakpastian global terus meningkat. Sebaliknya, jika ketegangan mereda, harga bisa turun ke kisaran Rp1,7 juta–Rp1,8 juta.

“Emas bisa naik dan turun drastis. Investor harus berhati-hati agar tidak terbawa euforia,” ujar Ariston.

Ia juga menyoroti bahwa negara-negara kini mulai mendiversifikasi cadangan devisanya dari dolar AS ke emas, menyebabkan bank sentral global melakukan pembelian besar-besaran.

Proyeksi dan Analisis Teknikal

Analis pasar Dupoin Indonesia, Andy Nugraha, menilai bahwa tren bullish emas secara teknikal masih dominan. Jika harga mampu bertahan di atas support psikologis US$3.200 per ons, maka potensi naik ke US$3.250 dalam waktu dekat sangat terbuka. Namun, bila terjadi pembalikan arah (reversal), harga dapat terkoreksi ke US$3.193.

Sementara itu, Goldman Sachs telah merevisi proyeksi harga emas di akhir 2025 menjadi US$3.700 per ons, dari sebelumnya US$3.300. Revisi ini didasarkan pada meningkatnya permintaan dari bank sentral serta aliran dana ke produk ETF emas yang semakin besar di tengah kekhawatiran resesi global.

Meski emas kerap dianggap sebagai aset aman (safe haven), kenyataannya tetap mengandung risiko fluktuasi harga yang signifikan. Strategi investasi terbaik adalah membeli saat harga rendah dan menjual saat tinggi, bukan sebaliknya.

Oleh karena itu, investor disarankan untuk tidak terburu-buru membeli emas hanya karena tren saat ini, melainkan melakukan analisis mendalam terhadap situasi ekonomi global.

Share This Article