Di Tengah Ancaman Tarif Trump, RI Berpotensi Tambah Ekspor US$6,4 Miliar ke AS

3 Min Read

Meski menghadapi ancaman tarif resiprokal dari Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump, Indonesia justru memiliki peluang besar untuk menambah ekspor ke Negeri Paman Sam.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Handi Risza Idris, menilai bahwa Indonesia masih diuntungkan karena tarif bea masuk dari AS terhadap produk asal RI—khususnya pakaian dan alas kaki—relatif lebih rendah dibandingkan sejumlah negara pesaing.

“Tarif bea masuk kita dikenai 32%, lebih rendah dari China yang mencapai 54%, Vietnam 46%, Kamboja 49%, dan Bangladesh 37%,” ujar Handi dalam diskusi publik INDEF secara daring, Jumat (25/4/2025).

Padahal, lanjutnya, negara-negara pesaing tersebut memiliki volume ekspor yang jauh lebih besar ke pasar AS dibanding Indonesia. Contohnya, untuk produk alas kaki (HS64), ekspor Indonesia ke AS baru mencapai US$2,6 miliar, jauh di bawah China (US$10,3 miliar) dan Vietnam (US$9,1 miliar). Hal serupa terjadi pada produk pakaian (HS62), di mana ekspor RI senilai US$2,1 miliar, masih tertinggal dari China (US$7,8 miliar), Vietnam (US$6,8 miliar), dan Bangladesh (US$4,8 miliar).

Menurut Handi, potensi ekspor Indonesia bisa meningkat signifikan jika mampu merebut sebagian kecil pangsa pasar dari negara-negara tersebut.

“Kalau kita bisa mengambil 10% saja dari pasar China, Vietnam, Bangladesh, dan Kamboja di AS, kita bisa menambah ekspor hingga US$6,4 miliar,” katanya.

Peluang Strategis di Tengah Tekanan Politik Perdagangan

Handi menilai strategi pemerintah Indonesia yang tidak melakukan retaliasi atau aksi balasan terhadap kebijakan tarif AS saat ini adalah langkah yang bijak. Menurutnya, langkah ini membuka peluang bagi RI untuk masuk lebih dalam ke pasar AS di saat produk pesaing jadi lebih mahal akibat kenaikan tarif.

“Langkah pemerintah saat ini bisa dibilang lebih tepat, ketimbang langsung membalas seperti yang dilakukan China,” ujarnya.

Dampak ekonomi langsung dari tarif Trump pun dinilai tidak signifikan bagi Indonesia. Ekspor ke AS hanya menyumbang sekitar 2,2% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun demikian, AS tetap menjadi pasar penting karena merupakan tujuan ekspor terbesar kedua setelah China.

Handi mengingatkan agar pemerintah tetap waspada dan menjaga kepentingan nasional dalam proses negosiasi dagang dengan AS. “Saya kasih catatan, jangan sampai kedaulatan ekonomi kita dikorbankan. Hal-hal seperti QRIS, TKDN, dan produk unggulan nasional harus tetap dipertahankan,” tegasnya.

Share This Article