Maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) resmi menerima suntikan dana segar senilai US$405 juta atau setara Rp6,65 triliun dari lembaga pengelola dana kekayaan negara Indonesia, Danantara Indonesia. Dana ini menjadi bagian awal dari skema pembiayaan yang ditargetkan mencapai US$1 miliar, sebagai upaya menyelamatkan dan menstabilkan operasional Garuda usai bertahun-tahun berada dalam tekanan keuangan.
Permintaan pendanaan diajukan Garuda pada 21 Mei 2025, dan Danantara merespons dengan mencairkan tahap pertama pada Selasa (24/6). Dari total dana yang disalurkan, Garuda Indonesia akan mengelola Rp1,82 triliun, sementara sisanya sebesar Rp4,83 triliun dialokasikan kepada anak usahanya, PT Citilink Indonesia, yang bergerak di segmen penerbangan berbiaya rendah (low-cost carrier).
“Dengan dukungan Danantara Indonesia, kami optimistis dapat memperkuat kapabilitas operasional melalui optimalisasi bisnis dan kinerja untuk menegaskan posisi Garuda sebagai maskapai berkelas dunia,” ujar Wamildan Tsani, Direktur Utama Garuda Indonesia.
Menurut keterangan resmi, dana awal ini akan difokuskan pada pemeliharaan armada dan kesiapan operasional Garuda Group, mencakup maskapai layanan penuh Garuda Indonesia dan Citilink.
Transformasi Jangka Panjang dan Pengawasan Ketat
Chief Operating Officer Danantara Indonesia, Dony Oskaria, menyatakan bahwa peran Danantara tidak sebatas sebagai penyandang dana, tetapi juga sebagai mitra strategis yang akan melakukan evaluasi berkala atas proses transformasi Garuda.
“Melalui Danantara Asset Management, kami akan memastikan proses transformasi berjalan sesuai rencana, dengan setiap tahap dievaluasi berdasarkan hasil dan prinsip akuntabilitas,” tegas Dony.
Garuda dalam keterbukaan informasi menyebut bahwa penyuntikan modal ini merupakan langkah penting untuk menjamin kelangsungan usaha, terutama pasca restrukturisasi utang yang diputuskan melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 2022.
Kasus tersebut terdaftar sebagai perkara No. 425/PDT.SUS-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst dan diputus pada 27 Juni 2022, dengan hasil yang menguntungkan pihak Garuda melalui skema restrukturisasi yang turut memperbaiki posisi keuangan perusahaan.
Laporan keuangan menunjukkan bahwa kerugian Garuda membengkak dari US$216,58 juta pada 2017 menjadi US$4,16 miliar pada 2021. Meski restrukturisasi berhasil mendongkrak pendapatan konsolidasi menjadi US$3,74 miliar pada 2022, hal itu belum cukup membawa Garuda keluar dari zona rugi.
Masalah Ekuitas dan Biaya Tinggi Masih Membayangi
Permasalahan terbesar Garuda saat ini adalah ekuitas negatif yang terus berlanjut sejak 2020. Berikut catatan ekuitas Garuda sejak 2020:
- 2020: -US$1,94 miliar
- 2021: -US$6,11 miliar
- 2022: -US$1,53 miliar
- 2023: -US$1,28 miliar
- 2024: -US$1,35 miliar
Kondisi tersebut membuat saham GIAA terancam disuspensi bahkan delisting, sebagaimana diakui manajemen dalam keterbukaan atas penerimaan dana Danantara.
Tak hanya itu, backlog perawatan dan penjadwalan ulang pemeliharaan pesawat juga menambah beban biaya tahun ini, banyak di antaranya merupakan warisan dari tahun sebelumnya. Penurunan tingkat layanan (serviceability) turut memukul pendapatan, yang akhirnya tak mampu menutupi beban non-operasional seperti sewa pesawat menganggur dan bunga utang.
Saham GIAA Bangkit, Tembus Gocap
Pasca pengumuman suntikan modal dari Danantara, saham GIAA melonjak tajam dan akhirnya menembus level gocap (Rp50) untuk pertama kalinya sejak Februari. Pada Selasa (24/6), saham GIAA ditutup naik 9,38% ke level Rp70 per lembar.
Dalam sebulan terakhir, saham GIAA telah menguat 16,67%, dan secara year-to-date tercatat naik 29,63%. Titik terendahnya di tahun ini berada di Rp31 pada 19 Maret lalu.