Permata Institute for Economic Research (PIER) mengungkapkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 hanya mencapai 4,87% secara tahunan (year-on-year/yoy), sesuai ekspektasi sebelumnya. Angka ini menandai pertumbuhan paling lambat dalam tiga setengah tahun terakhir, menurun dari 5,02% di kuartal sebelumnya.
Dalam laporan terbarunya, Head of Macroeconomic and Financial Market Research Bank Permata, Faisal Rachman, menyatakan bahwa capaian ini mencerminkan tantangan yang dihadapi perekonomian nasional.
Salah satu penyebab utamanya adalah melemahnya konsumsi rumah tangga, yang meskipun tetap menjadi penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), hanya tumbuh 4,89% yoy. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan kuartal pertama 2024 yang tercatat 4,98% yoy.
“Penurunan ini menunjukkan berkurangnya daya beli masyarakat, meskipun sempat terdorong oleh pengeluaran selama Ramadan dan Idul Fitri,” ujar Faisal pada Senin (5/5).
Sektor investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), sebagai komponen PDB terbesar kedua, juga mengalami perlambatan signifikan. Pada kuartal I-2025, pertumbuhannya hanya 2,12% yoy, jauh lebih rendah dibandingkan 5,03% yoy pada periode yang sama tahun lalu.
Menurut PIER, hal ini dipicu oleh tingginya suku bunga dan ketidakpastian global yang membuat pelaku usaha memilih bersikap hati-hati.
Sementara itu, belanja pemerintah turut mengalami kontraksi sebesar 1,38% yoy, seiring upaya efisiensi fiskal yang dijalankan pemerintah.
Di sisi lain, sektor ekspor menjadi penopang utama pertumbuhan dengan kenaikan 6,78% yoy, termasuk ekspor barang dan jasa. Kinerja positif ini didukung oleh meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara. Sebaliknya, pertumbuhan impor tercatat lebih rendah, yakni 3,96% yoy, mencerminkan menurunnya aktivitas investasi.
Faisal menilai keseluruhan data menunjukkan bahwa momentum pertumbuhan domestik masih lemah. Ketidakpastian global dan ketegangan perdagangan internasional membuat pelaku usaha menunda ekspansi, yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan melemahkan daya beli masyarakat.
PIER pun merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi di bawah 5%. “Ketidakpastian akibat perang dagang yang masih berlangsung menjadi faktor utama revisi ini,” jelas Faisal.
Meski begitu, Faisal menyebut dampak dari perang dagang kemungkinan tidak akan terlalu besar bagi Indonesia, mengingat skala ekonomi terbuka Indonesia yang relatif kecil. Jika pemerintah mampu memberikan respons kebijakan yang tepat dan menjalin negosiasi efektif, potensi penerapan tarif balasan dalam skala besar bisa dihindari.
“Simulasi awal kami memperkirakan perlambatan PDB Indonesia berkisar antara 0,3 hingga 0,5 persen,” ungkapnya.
Lebih lanjut, PIER memandang bahwa kondisi ini dapat membuka peluang pelonggaran kebijakan moneter. Jika ketidakpastian global mulai mereda dan pasar mengantisipasi penurunan suku bunga oleh The Fed, Bank Indonesia kemungkinan dapat menurunkan suku bunga acuan (BI rate) hingga 50 basis poin sebelum akhir tahun ini.