Harga Emas Dunia Tembus US$ 3.200, Konflik Global Jadi Pemicu Utama

4 Min Read

Harga emas dunia terus melambung dan kini menyentuh kisaran US$ 3.200 per ons. Lonjakan ini tidak hanya didorong oleh meningkatnya permintaan global, tetapi lebih dipicu oleh eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah dunia.

Direktur Utama PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB), Edi Permadi, mengungkapkan bahwa setiap kali terjadi konflik berskala besar, harga emas cenderung merespons dengan penguatan signifikan. “Kita bisa lihat saat pecah konflik Rusia-Ukraina, disusul Israel-Hamas pada Oktober 2023, lalu Israel-Hizbullah pada Juli 2024. Terbaru, konflik antara Pakistan dan India juga ikut mendorong harga emas naik tajam,” ujar Edi di Jakarta, Jumat (16/5/2025).

- Advertisement -

Mengutip model Gold Return Attribution Model (GRAM) yang dikembangkan oleh World Gold Council, Edi menjelaskan bahwa faktor geopolitik menyumbang sekitar 5,15% dari kenaikan harga emas tahun ini. Model ini dirancang untuk mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mempengaruhi imbal hasil investasi emas secara global.

Lebih lanjut, Edi memproyeksikan tren kenaikan harga emas akan terus berlanjut hingga tahun depan. “JP Morgan memperkirakan harga emas bisa menembus rekor baru di kisaran US$ 4.000 pada 2026,” ujarnya. Ia menambahkan, keputusan pemerintah Amerika Serikat yang mengklasifikasikan emas sebagai aset tier I juga akan memicu lonjakan permintaan dari sektor perbankan global.

Indonesia Diuntungkan, Tapi Tetap Waspada

Di dalam negeri, Indonesia disebut berada dalam posisi yang cukup strategis untuk memanfaatkan kenaikan harga emas global. Salah satunya melalui rencana pembentukan Bullion Bank oleh pemerintah serta peningkatan produksi dari dua smelter besar milik PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN).

- Advertisement -

“Ini adalah momentum emas, baik untuk pelaku usaha maupun bagi negara untuk meningkatkan penerimaan. Tapi tetap harus diiringi dengan tanggung jawab,” kata Edi yang juga menjabat sebagai Tenaga Profesional (Taprof) Bidang Sumber Kekayaan Alam (SKA) di Lemhanas.

Ia menekankan pentingnya komitmen terhadap aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance / ESG). “Kenaikan harga emas jangan sampai membuat perusahaan lengah terhadap kewajiban ESG. Justru saat harga tinggi seperti sekarang ini, perusahaan harus lebih agresif dalam pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan,” tegasnya.

Eksplorasi Adalah Kunci

Selain ESG, Edi mengingatkan bahwa eksplorasi merupakan elemen vital dalam memastikan keberlangsungan industri pertambangan. “Tanpa eksplorasi, kita tidak bisa bicara tentang umur tambang. Ini ibarat jantung dari industri pertambangan itu sendiri,” ujarnya.

Menurutnya, saat harga sedang tinggi, perusahaan harus mengalokasikan anggaran eksplorasi lebih besar agar bisa menambah sumber daya dan mengubah statusnya menjadi cadangan yang dapat ditambang.

“Jangan sampai tergoda hanya fokus produksi karena harga sedang bagus. Tanpa eksplorasi, cadangan habis dan tambang terhenti,” imbuhnya.

Sebagai informasi, PT J Resources Asia Pasifik mencatat produksi emas sebesar 94.000 ons (koz) pada 2023 dan meningkat menjadi 101.000 ons pada 2024. Saat ini, perusahaan mengoperasikan dua tambang yang telah berproduksi—yakni PT J Resources Bolaang Mongondow (JRBM) di Sulawesi dan tambang emas Penjom di Malaysia. Sementara satu proyek lainnya, tambang Doup yang dikelola oleh PT Arafura Surya Alam (ASA), masih dalam tahap konstruksi.

Share This Article