Harga minyak dunia kembali terkoreksi di tengah meningkatnya keraguan investor terhadap hasil akhir pembicaraan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Ketidakpastian ini menekan sentimen pasar terhadap potensi permintaan energi global.
Mengutip Reuters pada Rabu (11/6/2025), harga minyak mentah Brent turun sebesar 17 sen atau 0,3% menjadi US$66,87 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah US West Texas Intermediate (WTI) melemah 31 sen atau 0,5% ke level US$64,98 per barel. Di pasar spot pukul 05.42 WIB, WTI tercatat turun 0,4% menjadi US$64,72, sedangkan Brent melemah 0,25% ke posisi US$66,87.
Adapun pada perdagangan Senin (9/6/2025), Brent sempat menyentuh level tertinggi sejak 22 April, dan WTI mencatatkan harga tertinggi sejak 3 April.
Ketegangan Dagang dan Prediksi Permintaan Energi
Para analis menilai bahwa jika AS dan China berhasil mencapai kesepakatan perdagangan yang konkret, hal ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi global dan memicu peningkatan permintaan minyak. Namun, negosiasi yang berjalan alot selama dua hari di London menunjukkan betapa kompleksnya isu pengendalian ekspor antara kedua negara.
Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, menyebutkan bahwa pembicaraan berlangsung baik, meski belum menemui titik akhir hingga Selasa malam dan kemungkinan akan berlanjut hingga Rabu waktu setempat.
Sementara itu, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2025 sebesar 0,4 poin menjadi hanya 2,3%. Penyebab utama adalah lonjakan tarif dan ketidakpastian global yang menjadi hambatan serius bagi hampir seluruh negara.
Sorotan Pasokan: Saudi Aramco, OPEC+, dan Iran
Dari sisi pasokan, alokasi minyak Arab Saudi ke penyulingan China tercatat turun sebesar 1 juta barel pada Juli menjadi sekitar 47 juta barel, dibandingkan dengan alokasi bulan sebelumnya. Menurut Harry Tchilinguirian dari Onyx Capital, penurunan ini bisa menjadi indikasi bahwa rencana penghentian pemangkasan produksi oleh OPEC+ mungkin tidak langsung berujung pada lonjakan pasokan.
Daniel Hynes, analis senior di ANZ, menyatakan bahwa pasar masih dibayangi oleh prospek peningkatan produksi dari OPEC. Diketahui, OPEC+ yang mencakup negara-negara pengekspor minyak dan sekutunya seperti Rusia, berencana menambah produksi sebesar 411.000 barel per hari mulai Juli, setelah empat bulan berturut-turut menjalankan pemangkasan.
Namun, survei Reuters menunjukkan bahwa peningkatan produksi di bulan Mei masih terbatas. Irak, sebagai produsen OPEC terbesar kedua, memompa di bawah target untuk menyeimbangkan produksi berlebih sebelumnya. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab pun meningkatkan output di bawah level yang disepakati.
Faktor Geopolitik: Iran & Rusia Masih Jadi Variabel Penting
Dinamika geopolitik turut memperbesar ketidakpastian. Iran menyatakan akan mengajukan tanggapan balasan atas proposal kesepakatan nuklir yang diajukan AS. Perselisihan ini mencakup perdebatan soal hak Teheran memperkaya uranium di wilayahnya. Jika sanksi AS terhadap Iran dilonggarkan, ekspor minyak Iran bisa meningkat, yang secara teori dapat menekan harga minyak global.
Di sisi lain, Komisi Eropa mengajukan sanksi ke-18 terhadap Rusia, mencakup sektor energi, perbankan, dan industri militer. Rusia sendiri merupakan produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah AS. Jika sanksi diperketat, pasokan minyak dari Rusia bisa menyusut lebih jauh dari pasar global—berpotensi mendukung harga.
Dengan kombinasi faktor ekonomi, geopolitik, dan pasokan yang saling tarik-menarik, harga minyak dunia diperkirakan akan tetap berfluktuasi hingga ada kepastian dari arah kebijakan dagang dan produksi global.