Harga minyak mentah global mencatat lonjakan signifikan pada perdagangan Selasa (13/5/2025), dipicu oleh dua faktor utama: pelonggaran tarif sementara antara Amerika Serikat dan China, serta laporan inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan pasar.
Dilansir Reuters, Rabu (14/5/2025), harga minyak Brent ditutup naik sebesar US$1,67 atau 2,57% ke level US$66,63 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) menguat US$1,72 atau 2,78% menjadi US$63,67 per barel. Penguatan ini memperpanjang reli yang dimulai pada sesi sebelumnya, ketika kedua acuan utama melonjak hampir 4% usai pengumuman kesepakatan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia.
John Kilduff, mitra di Again Capital LLC, menjelaskan bahwa sebagian pelaku pasar yang sebelumnya belum ikut dalam reli harga, kini mulai masuk pasar. “Banyak yang mencoba mengejar ketertinggalan setelah sentimen positif dari kesepakatan AS-China. Selain itu, laporan inflasi hari ini memberi harapan bahwa The Fed bisa mulai melonggarkan kebijakan moneternya,” ujarnya.
Inflasi AS Melemah, Pasar Optimis
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) hanya naik 2,3% secara tahunan hingga April 2025—angka terendah dalam empat tahun terakhir. Data ini membuka peluang bagi Federal Reserve untuk mulai melonggarkan suku bunga, setelah sejak Desember lalu menahan kebijakan moneternya tetap ketat akibat kekhawatiran inflasi yang dipicu perang dagang.
Sejumlah bank besar seperti JPMorgan dan Barclays segera memangkas proyeksi resesi AS menyusul rilis data tersebut, memperkuat sentimen positif di pasar energi.
Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group, menyebut bahwa kombinasi data ekonomi dan pelemahan inflasi memberikan dukungan kuat bagi harga minyak. “Semua indikator hari ini berpihak pada pasar minyak,” katanya.
Risiko Pasokan dan Peran OPEC+
Di tengah euforia pasar, sentimen negatif datang dari sisi suplai. Aliansi OPEC+ dikabarkan berencana meningkatkan ekspor minyak pada Mei dan Juni 2025. Kenaikan produksi OPEC bahkan sudah melampaui proyeksi sejak April, dengan tambahan pasokan diperkirakan mencapai 411.000 barel per hari bulan ini.
Sumber internal menyebutkan bahwa Arab Saudi akan mempertahankan ekspor tinggi ke China hingga Juni, menyusul rekor pengiriman tertinggi dalam lebih dari satu tahun. Arab Saudi kini menjadi pemasok minyak terbesar kedua ke China setelah Rusia.
Permintaan Minyak Mentah Masih Abu-abu, Tapi Bahan Bakar Olahan Menguat
Meski prospek permintaan minyak mentah global masih diliputi ketidakpastian, pasar produk olahan seperti bensin dan solar menunjukkan tren yang lebih positif. Analis JPMorgan mencatat bahwa meskipun harga minyak turun sekitar 22% sejak puncaknya pada 15 Januari 2025, margin penyulingan dan harga bahan bakar tetap solid.
Penurunan kapasitas kilang, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, telah memperketat pasokan bahan bakar, mendorong negara-negara untuk meningkatkan impor. Kondisi ini membuat pasar rentan terhadap gangguan pasokan akibat pemeliharaan kilang atau insiden operasional yang tak terduga.
“Terlepas dari lemahnya outlook permintaan minyak mentah, kekuatan pasar bahan bakar olahan patut menjadi perhatian utama,” tulis JPMorgan dalam catatannya.