Harga minyak dunia mencatat penguatan tipis di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel serta kemungkinan keterlibatan langsung Amerika Serikat. Situasi ini memicu kekhawatiran pasar terhadap potensi gangguan pasokan minyak global.
Menurut data Reuters, Kamis (19/6/2025), harga minyak Brent naik sebesar 25 sen menjadi US$76,70 per barel, sementara minyak acuan Amerika West Texas Intermediate (WTI) menguat 30 sen ke level US$75,14 per barel. Penguatan ini terjadi setelah sehari sebelumnya harga minyak sempat meroket lebih dari 4%, lalu terkoreksi turun sekitar 2%.
Aksi pasar mencerminkan kekhawatiran terhadap eskalasi konflik, menyusul pernyataan tegas Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei yang menolak tuntutan Presiden AS Donald Trump untuk menyerah tanpa syarat. Trump menegaskan bahwa kesabarannya sudah habis, namun belum mengungkapkan langkah militer apa pun.
“Mungkin saya akan lakukan, mungkin juga tidak. Tidak ada yang tahu apa yang akan saya lakukan,” ujar Trump kepada wartawan di luar Gedung Putih. Ia juga mengklaim bahwa pejabat Iran sempat menghubungi pihaknya untuk membuka ruang negosiasi, namun menurutnya “sudah terlambat untuk berbicara”.
Sumber yang dekat dengan pemerintahan AS menyebut bahwa opsi untuk menyerang fasilitas nuklir Iran sedang dipertimbangkan secara serius. Analis dari Ritterbusch and Associates memperingatkan bahwa pasar minyak mentah masih dalam kondisi wait-and-see, dengan harga Brent berpotensi naik ke US$83 atau justru turun ke US$68 per barel tergantung arah eskalasi.
Analis dari ING menyoroti risiko paling besar saat ini adalah potensi penutupan Selat Hormuz, jalur laut strategis yang dilintasi hampir sepertiga volume perdagangan minyak global. “Gangguan serius di titik ini bisa mendorong harga minyak hingga US$120 per barel,” tulis ING dalam catatan analis mereka.
Sebagai informasi, Iran merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dalam organisasi OPEC, dengan produksi mencapai sekitar 3,3 juta barel per hari (bph). Duta Besar Iran untuk PBB di Jenewa menegaskan bahwa Teheran telah menyampaikan peringatan kepada Washington: mereka akan merespons keras jika AS terlibat langsung dalam serangan militer Israel.
Di luar geopolitik, pasar juga mencermati arah kebijakan moneter AS. Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25%–4,50%, namun memberi sinyal bahwa pemangkasan suku bunga masih memungkinkan tahun ini. Proyeksi terbaru menunjukkan pemangkasan sebesar 50 basis poin pada 2025, dan masing-masing 25 basis poin pada 2026 serta 2027, meskipun jalurnya melambat karena tekanan inflasi dari kebijakan tarif Presiden Trump.
Suku bunga yang lebih rendah umumnya berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi, termasuk permintaan minyak.
Sementara itu, dari sisi pasokan, data mingguan dari Energy Information Administration (EIA) menunjukkan bahwa stok minyak mentah AS turun drastis sebesar 11,5 juta barel menjadi 420,9 juta barel pada pekan lalu. Penurunan ini jauh melebihi ekspektasi analis yang hanya memperkirakan penyusutan sekitar 1,8 juta barel.
Pasar minyak global kini berada di titik kritis, dengan arah harga sangat ditentukan oleh eskalasi konflik Timur Tengah dan arah kebijakan ekonomi AS.