Harga Minyak Melejit Nyaris 3% di Tengah Memanasnya Konflik Israel–Iran

3 Min Read

Harga minyak mentah global melonjak mendekati 3% seiring meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran, ditambah ketidakpastian mengenai kemungkinan keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam konflik tersebut.

Mengutip Reuters, Jumat (20/6/2025), harga minyak Brent ditutup naik US$2,15 atau 2,8% menjadi US$78,85 per barel. Ini merupakan level penutupan tertinggi sejak 22 Januari 2025. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juli naik US$2,06 atau 2,7% ke posisi US$77,20 per barel.

- Advertisement -

Volume perdagangan tercatat ringan karena bertepatan dengan libur nasional Hari Juneteenth di AS. Namun, eskalasi konflik membuat pasar tetap gelisah. Israel dilaporkan menggempur fasilitas nuklir Iran, dan sebagai balasan, Iran meluncurkan serangan rudal dan drone ke wilayah Israel, termasuk serangan ke sebuah rumah sakit.

Hingga kini belum ada tanda-tanda deeskalasi. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa “rezim tirani di Teheran akan membayar harga penuh”, sedangkan Iran memperingatkan negara ketiga untuk tidak ikut campur.

Kekhawatiran Keterlibatan AS Dorong Lonjakan Harga

Gedung Putih menyatakan bahwa Presiden AS Donald Trump akan mengambil keputusan dalam dua pekan ke depan terkait kemungkinan keterlibatan langsung AS dalam konflik Israel–Iran. Menurut Rory Johnston, analis dan pendiri Commodity Context, pasar kini mulai membentuk konsensus bahwa AS kemungkinan akan terlibat dalam bentuk tertentu.

- Advertisement -

Iran saat ini merupakan produsen minyak terbesar ketiga di OPEC dengan produksi sekitar 3,3 juta barel per hari (bph). Setidaknya 18–21 juta bph minyak dan produk turunannya melewati Selat Hormuz, jalur krusial di selatan Iran yang menjadi titik vital perdagangan energi global.

Analis RBC Capital, Helima Croft, memperingatkan bahwa konflik dapat mengganggu arus pasokan energi secara besar-besaran jika Iran merasa eksistensinya terancam. Potensi keterlibatan AS bahkan bisa memicu serangan langsung terhadap kapal tanker maupun infrastruktur energi.

JP Morgan memperkirakan bahwa jika skenario terburuk terjadi—yakni meluasnya konflik hingga menyebabkan penutupan Selat Hormuz—harga minyak bisa melonjak ke kisaran US$120–US$130 per barel. Sementara itu, Goldman Sachs menilai premi risiko geopolitik sekitar US$10 per barel masih wajar. Jika suplai dari Iran terganggu, harga Brent bisa menembus US$90.

Ketegangan Timur Tengah Ubah Sentimen Pasar

Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group, mengatakan bahwa krisis terbaru ini telah menghapus sikap acuh pasar terhadap ancaman geopolitik. “Pasar selama ini terlalu meremehkan risiko konflik kawasan,” tegasnya.

Namun, DBRS Morningstar memperingatkan bahwa lonjakan harga minyak kemungkinan bersifat sementara. Kenaikan harga yang terlalu tinggi justru dapat memperparah tekanan ekonomi global akibat tarif perdagangan, yang pada akhirnya akan menekan permintaan.

OPEC+ Diminta Tetap Tenang

Di sisi lain, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak menyarankan agar negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC+ tetap tenang dan melanjutkan rencana peningkatan produksi. Menurutnya, langkah itu penting untuk menjaga kestabilan pasar di tengah musim panas, saat permintaan energi biasanya meningkat.

“OPEC+ perlu melaksanakan rencananya secara bertahap dan tidak membuat pasar panik dengan proyeksi yang terlalu agresif,” kata Novak dalam Forum Ekonomi Internasional di St. Petersburg.

Share This Article