Harga minyak global mengalami kenaikan lebih dari 1% pada Rabu, dipengaruhi oleh kekhawatiran pasar terkait potensi gangguan pasokan. Sentimen ini menguat setelah keputusan OPEC+ untuk mempertahankan kebijakan produksinya, serta langkah Amerika Serikat yang menghentikan ekspor minyak mentah Chevron dari Venezuela.
Sebelumnya, pelaku pasar sempat memprediksi bahwa OPEC+ akan mengumumkan peningkatan produksi pada pekan ini. Namun kenyataan berkata lain.
Mengutip laporan Reuters, harga minyak mentah Brent ditutup menguat sebesar 81 sen atau 1,26%, menjadi US$64,90 per barel. Sementara itu, jenis West Texas Intermediate (WTI) melonjak 95 sen atau sekitar 1,56%, menembus US$61,84 per barel.
Dalam pertemuan terbarunya, OPEC+—kelompok negara-negara penghasil minyak dan sekutunya—memutuskan untuk tidak mengubah kebijakan output saat ini. Sebagai gantinya, blok ini sepakat untuk membentuk kerangka kerja dalam menetapkan baseline produksi baru untuk tahun 2027.
“Sebagian besar negara dalam aliansi ini tidak punya ruang fleksibel untuk mengubah produksi mereka dalam jangka pendek,” jelas Bob Yawger, Direktur Energi Berjangka di Mizuho.
“Mereka berupaya menahan laju penurunan harga dengan membatasi suplai, tapi pasar belum sepenuhnya merespons seperti yang diharapkan,” tambahnya.
OPEC+ dijadwalkan menggelar pertemuan lanjutan pada Sabtu mendatang, melibatkan delapan negara anggota yang berpengaruh. Pertemuan ini berpotensi menentukan arah produksi untuk bulan Juli mendatang.
Dalam analisanya, Goldman Sachs memperkirakan delapan negara utama OPEC+ akan tetap mempertahankan level produksi yang sama. Namun, mereka mencatat bahwa risiko terhadap proyeksi pasokan masih tinggi, terutama jika kepatuhan terhadap kuota melemah atau terjadi lonjakan permintaan yang tak terduga.
Permintaan minyak diperkirakan meningkat menjelang musim panas di belahan bumi utara, yang ditandai dengan tingginya aktivitas mengemudi. Di sisi lain, produksi minyak dari negara-negara di luar OPEC+ menunjukkan tren stagnan sepanjang paruh pertama tahun ini. Faktor lain seperti ancaman kebakaran hutan di wilayah penghasil minyak di Kanada juga turut mendorong kekhawatiran pasar akan ketersediaan pasokan.
Sementara itu, Chevron dilaporkan mengakhiri sejumlah kontrak layanan dan produksi di Venezuela. Meski demikian, perusahaan energi asal AS tersebut tetap mempertahankan personel inti mereka di negara tersebut.
Keputusan pemerintah AS untuk melarang ekspor minyak mentah dari Venezuela oleh Chevron, menyusul perubahan izin aset yang dimiliki perusahaan tersebut, menjadi faktor tambahan yang mengerek harga.
Analis menilai bahwa ketegangan geopolitik juga menjadi faktor penentu arah harga ke depan. Jika negosiasi dagang internasional membuahkan hasil atau ketegangan antara Washington dan Teheran mulai mereda, harga minyak berpotensi menguat lebih lanjut.
Pernyataan terbaru dari Kepala Badan Energi Atom Iran, Mohammad Eslami, juga menarik perhatian. Ia menyatakan bahwa Iran kemungkinan akan membuka akses bagi inspektur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) jika dialog dengan AS menunjukkan kemajuan.
Di sisi lain, data mingguan dari American Petroleum Institute (API) menunjukkan bahwa stok minyak mentah AS turun sebesar 4,24 juta barel. Pelaku pasar kini menanti data resmi dari pemerintah AS yang dijadwalkan dirilis pada Kamis waktu setempat, untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat terkait tren persediaan energi.