Harga Minyak Naik Tajam Usai Trump Ancam Sanksi Iran, OPEC+ Siap Tambah Produksi

3 Min Read

Harga minyak global melonjak hampir 2% setelah mantan Presiden AS, Donald Trump, mengancam akan memberlakukan sanksi sekunder terhadap Iran. Pernyataan tersebut muncul setelah putaran keempat perundingan antara AS dan Iran kembali ditunda.

Mengutip Reuters, Jumat (2/5/2025), harga minyak mentah Brent sempat naik US$1,07 atau 1,8% ke level US$62,13 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS menguat US$1,03 atau 1,8% ke posisi US$59,24 per barel.

Namun, penguatan tersebut tidak bertahan lama. Pada pukul 06.50 WIB, harga minyak WTI berbalik melemah menjadi US$58,9 per barel atau turun 0,57%, sementara Brent tetap menguat tipis di level yang sama, US$62,13 per barel.

Trump secara tegas menyatakan bahwa semua pembelian minyak maupun produk petrokimia dari Iran harus dihentikan. Negara atau individu yang tetap melakukan transaksi dengan Iran akan dikenai sanksi sekunder oleh pemerintah AS.

Pernyataan ini disampaikan usai penundaan perundingan nuklir antara kedua negara yang awalnya dijadwalkan berlangsung di Roma pada Sabtu mendatang. Seorang pejabat senior Iran menyebutkan bahwa penjadwalan ulang akan bergantung pada pendekatan AS dalam perundingan.

“Jika sanksi sekunder terhadap pembelian minyak Iran benar-benar diberlakukan, maka pasokan global bisa terpangkas sekitar 1,5 juta barel per hari,” ungkap Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates.

Lipow menambahkan bahwa harga minyak yang masih rendah memberi peluang bagi Trump untuk memperketat tekanan terhadap Iran, terutama ketika negara-negara OPEC+ terlihat melebihi kuota produksi dan berniat meningkatkan output mereka.

Berdasarkan informasi dari tiga sumber yang mengetahui diskusi internal, sejumlah anggota OPEC+ disebut berencana mempercepat peningkatan produksi untuk bulan kedua berturut-turut. Delapan negara OPEC+ dijadwalkan bertemu pada 5 Mei untuk menyepakati kebijakan produksi bulan selanjutnya.

Sementara itu, Arab Saudi dikabarkan telah memberi sinyal kepada sekutunya serta pelaku industri bahwa mereka tidak akan melakukan pemangkasan produksi untuk menopang harga, dan siap menghadapi periode harga rendah yang berkepanjangan.

Di sisi lain, data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa ekonomi AS mengalami kontraksi pada kuartal I/2025, pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir. Kontraksi ini dipicu oleh lonjakan impor yang terjadi akibat upaya pelaku bisnis menghindari kenaikan tarif.

Situasi ini mencerminkan dampak dari kebijakan perdagangan era Trump yang dianggap tidak dapat diprediksi. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Reuters, banyak analis menilai bahwa kebijakan tarif Trump meningkatkan risiko resesi global sepanjang tahun ini.

Share This Article