Harga Minyak Naik, Tapi Masih Terjebak Tekanan Mingguan—Apa Kabar OPEC+ dan Perang Dagang?

3 Min Read

Harga minyak dunia mencatat kenaikan pada Jumat (25/4), menandai reli selama dua hari berturut-turut. Kenaikan ini dipicu oleh harapan meredanya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China, serta sentimen positif dari kemungkinan perubahan arah kebijakan moneter AS.

Meski begitu, dalam perhitungan mingguan, harga minyak masih mengalami tekanan dan berada di jalur pelemahan sekitar 2%, disebabkan kekhawatiran terhadap potensi kelebihan pasokan global.

Menurut laporan Reuters, harga minyak mentah Brent tercatat naik sebesar 31 sen ke level US$66,85 per barel pada pukul 06.50 GMT. Sementara itu, harga West Texas Intermediate (WTI) menguat 35 sen menjadi US$63,12 per barel. Meski demikian, secara mingguan Brent turun 1,7%, sementara WTI terkoreksi 2,4%.

“Penguatan harga hari ini lebih didorong oleh optimisme pasar terhadap meredanya ketegangan tarif antara AS dan China, serta potensi pelonggaran sikap The Fed yang mendukung pemulihan pasar secara umum,” ujar Anh Pham, Analis Senior di LSEG.

Namun, ia menambahkan bahwa tekanan tetap terasa dalam jangka pendek akibat kekhawatiran pasokan berlebih dari OPEC+, ketidakpastian permintaan, serta penguatan dolar AS yang membebani harga.

Pernyataan terbaru dari Presiden AS Donald Trump menyebutkan bahwa pembicaraan dagang dengan China sedang berlangsung, sekaligus membantah klaim Beijing bahwa dialog belum terjadi.

Di sisi lain, otoritas China dikabarkan tengah meninjau opsi untuk mengecualikan sejumlah produk impor asal AS dari beban tarif sebesar 125%, dan meminta perusahaan lokal menyusun daftar produk yang bisa dimasukkan ke dalam pengecualian tersebut.

Langkah ini dipandang sebagai indikasi kekhawatiran China terhadap dampak ekonomi dari ketegangan dagang yang berkepanjangan.

Sebelumnya, lonjakan tarif pada awal bulan ini sempat menekan harga minyak secara signifikan karena kekhawatiran atas melambatnya permintaan global dan aksi jual di pasar finansial.

Di tengah situasi ini, sejumlah negara anggota OPEC+ dilaporkan tengah mempertimbangkan percepatan peningkatan produksi untuk bulan Juni, sebagaimana diberitakan oleh Reuters awal pekan ini. Isu tersebut menambah tekanan terhadap harga di pasar.

Dari sisi geopolitik, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyebut bahwa Rusia dan Amerika Serikat menunjukkan kemajuan dalam upaya menghentikan konflik di Ukraina. Jika ketegangan mereda dan sanksi terhadap Rusia dilonggarkan, arus ekspor minyak dari negara tersebut berpotensi kembali mengalir ke pasar internasional.

Sebagai catatan, Rusia—bersama AS dan Arab Saudi—termasuk dalam tiga besar produsen minyak dunia, serta bagian dari kelompok OPEC+.

Sementara itu, sinyal positif datang dari sisi permintaan. Data terbaru menunjukkan adanya peningkatan konsumsi bensin di AS dalam sepekan terakhir, disertai dengan permintaan distilat seperti solar yang masih tinggi karena cuaca dingin yang berkepanjangan hingga April.

Namun, analis JPMorgan Commodities Research mencatat bahwa secara bulanan, permintaan minyak global masih 200.000 barel per hari di bawah proyeksi, terutama karena konsumsi yang lemah di dua pekan awal bulan ini.

Share This Article