Harga minyak dunia menguat lebih dari 1,5% dan ditutup di posisi tertinggi dalam dua pekan pada perdagangan Senin (12/5/2025), seiring tercapainya kesepakatan antara Amerika Serikat dan China untuk menurunkan tarif selama 90 hari. Sentimen positif ini memicu reli di pasar komoditas dan memperkuat ekspektasi pemulihan ekonomi global.
Mengutip Reuters, Selasa (13/5/2025), harga minyak mentah Brent naik US$1,05 atau 1,6% menjadi US$64,96 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat 93 sen atau 1,5% ke posisi US$61,95 per barel. Keduanya mencatat harga penutupan tertinggi sejak 28 April 2025.
Pelonggaran tarif yang diumumkan oleh dua konsumen minyak terbesar dunia tersebut ikut mendorong reli di Wall Street, penguatan dolar AS, serta meningkatnya harga minyak mentah. Optimisme atas peluang berakhirnya konflik dagang antara AS dan China mengurangi kekhawatiran resesi global yang sebelumnya menekan pasar energi.
Analis dari ING menyebut langkah ini melebihi ekspektasi pasar dan memperbaiki prospek ekonomi global, meski proses negosiasi selanjutnya diperkirakan tetap akan menantang. Gubernur The Fed Adriana Kugler juga menyatakan bahwa kesepakatan ini berpotensi mengurangi urgensi penurunan suku bunga, sebuah komentar yang sempat membebani harga minyak di awal sesi karena suku bunga rendah biasanya mendorong permintaan energi.
Harga minyak sempat terpuruk ke level terendah dalam empat tahun pada April lalu akibat kekhawatiran berkepanjangan terhadap perang dagang. Di waktu yang sama, OPEC secara mengejutkan meningkatkan produksi melebihi perkiraan pasar.
Di Arab Saudi, Aramco menyatakan optimisme bahwa permintaan minyak global tetap kuat sepanjang tahun ini, bahkan berpotensi meningkat jika ketegangan dagang AS-China mereda. Sementara itu, Irak—produsen minyak terbesar kedua di OPEC—memproyeksikan ekspor minyaknya turun menjadi sekitar 3,2 juta barel per hari pada Mei dan Juni, turun signifikan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Pasar juga mendapat dukungan dari terhentinya sementara produksi ladang minyak Johan Castberg milik Equinor di Laut Barents karena kendala teknis. Di sisi lain, ekspor minyak jenis CPC Blend dari kawasan Laut Hitam melalui jaringan pipa Konsorsium Kaspia diperkirakan turun menjadi 1,5 juta barel per hari pada Mei, dari 1,6 juta barel pada April.
Di Meksiko, unit perdagangan perusahaan energi negara Pemex, yaitu PMI, memperkirakan penurunan ekspor minyak mentah tahun ini. Hal ini disebabkan oleh pengalihan pasokan ke kilang domestik, terutama kilang baru Olmeca.
Negosiasi Geopolitik Jadi Penentu Arah Harga
Harga minyak juga dipengaruhi oleh perkembangan geopolitik, termasuk negosiasi antara AS dan Iran terkait program nuklir Teheran. Jika kesepakatan tercapai, pelonggaran sanksi terhadap Iran dapat membuka kembali keran ekspor negara tersebut ke pasar global. Hal serupa berlaku bagi Rusia, yang pasokannya bisa meningkat jika kesepakatan damai dengan Ukraina tercapai.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menyatakan kesiapannya bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Turki, menyusul ajakan terbuka dari Presiden AS Donald Trump. Bahkan, Trump menyatakan minat untuk terlibat langsung dalam perundingan damai tersebut. Rusia merupakan produsen minyak terbesar kedua dunia pada 2024 menurut data Administrasi Informasi Energi AS.
Jika sanksi terhadap Rusia dicabut, maka pasokan global bisa meningkat tajam. Di sisi lain, ketegangan geopolitik tetap membayangi kawasan Asia Selatan. Perdana Menteri India Narendra Modi menegaskan bahwa negaranya siap merespons setiap serangan dari kelompok teroris lintas batas, serta tidak akan tunduk pada tekanan nuklir dari Pakistan. India saat ini merupakan konsumen minyak terbesar ketiga di dunia, menjadikannya pemain kunci dalam dinamika permintaan energi global.