Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan strategi baru dalam upaya menekan tingginya tarif masuk ekspor ke Amerika Serikat (AS). Salah satu langkah yang diambil adalah dengan meningkatkan porsi impor energi dari Negeri Paman Sam, terutama di sektor liquefied petroleum gas (LPG), minyak mentah, dan bahan bakar minyak (BBM).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut, peningkatan impor ini bertujuan menciptakan keseimbangan dalam neraca dagang antara kedua negara yang selama ini terus berpihak pada Indonesia.
“Langkah ini untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Kita berencana membeli LPG, minyak, dan BBM dari Amerika dengan nilai lebih dari US$ 10 miliar,” ujar Bahlil usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Kamis (17/4).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus perdagangan Indonesia terhadap AS mencapai US$ 14,5 miliar. Namun, menurut catatan otoritas perdagangan AS, angkanya diperkirakan lebih tinggi.
Target Ambisius: 85% Impor LPG dari AS
Pemerintah menargetkan porsi impor LPG dari AS meningkat drastis hingga mencapai 80%–85%. Untuk saat ini, porsi LPG asal AS di pasar domestik baru menyentuh angka 15,38%. Sebagian besar impor masih berasal dari Singapura (53,85%) dan Malaysia (30,77%), menurut data Trademap per Desember 2024.
“Kalau target itu tercapai, maka Malaysia dan Singapura akan tergeser. Secara produksi, Amerika memang pemain utama LPG dunia, tapi efisiensi harga tetap perlu diperhitungkan,” jelas ekonom energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti.
Hal serupa juga berlaku untuk impor minyak mentah, yang porsinya dari AS saat ini hanya sekitar 4%. Pemerintah menargetkan kenaikan hingga 40%, termasuk untuk BBM.
Bahlil menegaskan bahwa peningkatan volume impor dari AS tidak akan menambah kuota impor energi nasional. “Ini hanya pengalihan sumber, tidak membebani APBN,” ucapnya.
Peringatan Soal Risiko Fiskal dan Ketergantungan
Namun, rencana ini mengundang kritik dari sejumlah pengamat dan pelaku industri. Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Moshe Rizal, meminta pemerintah berhati-hati.
“AS bukan pemasok energi termurah. Kalau tidak dihitung cermat, bisa berdampak pada defisit APBN dan memperbesar beban fiskal,” tegas Moshe, Senin (21/4). Ia juga menekankan pentingnya menjaga diversifikasi sumber energi agar tidak bergantung pada satu negara.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), turut mengingatkan bahwa jika harga LPG dari AS lebih mahal, maka potensi pembengkakan subsidi energi bisa membebani APBN, terutama di masa awal pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Ini bisa berdampak pada utang Pertamina dan ruang fiskal pemerintah,” ujarnya.
Diplomasi Dagang atau Kepentingan Investasi?
Sementara itu, Founder ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, menilai langkah ini masih masuk akal jika dilihat sebagai bagian dari strategi diplomasi dagang yang lebih luas.
“Kalau ini cara kita merespons kebijakan tarif dagang AS, maka wajar-wajar saja. Tapi harus ada take and give, jangan hanya mengejar harga murah,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar pemerintah membuka lebih luas peluang investasi bagi perusahaan migas asal AS, baik di sektor hulu maupun hilir.
“Akan lebih baik jika dibarengi dengan peningkatan investasi dari perusahaan migas multinasional asal Amerika,” tambah Pri Agung.