Daftar emiten yang berada di bawah naungan konglomerat Prajogo Pangestu kian bertambah seiring dengan langkah PT Chandra Daya Investasi Tbk. (CDIA) yang resmi menggelar penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO). Dengan aksi ini, CDIA menjadi anggota keenam dalam barisan emiten yang terafiliasi dengan taipan yang menurut Forbes memiliki kekayaan senilai US$32,5 miliar tersebut.
Saat ini, lima emiten yang telah lebih dulu melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan terkait dengan Grup Prajogo Pangestu antara lain adalah:
- PT Barito Pacific Tbk. (BRPT)
- PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA)
- PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN)
- PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk. (CUAN)
- PT Petrosea Tbk. (PTRO)
Kelima entitas tersebut bergerak di sektor strategis seperti petrokimia, energi terbarukan, panas bumi, batu bara, properti, hingga jasa kontraktor pertambangan. Dari jajaran tersebut, TPIA dan BREN tercatat masuk dalam 10 besar saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI, masing-masing senilai Rp846 triliun dan Rp819 triliun per 19 Juni 2025.
Teranyar, BREN menjadi pemain baru di lantai bursa setelah melakukan IPO pada 9 Oktober 2023 dan sukses menghimpun dana segar Rp3,13 triliun. Sahamnya melejit 625,25% dari harga IPO Rp780 menjadi Rp6.125 per saham saat ini.
Kini giliran CDIA yang membuka lembaran baru. Keterangan resmi perusahaan pada Kamis (19/6/2025) menyebutkan bahwa CDIA akan menawarkan maksimal 12,48 miliar saham biasa dengan nilai nominal Rp100 per saham. Saham tersebut mewakili 10% dari modal ditempatkan dan disetor penuh pasca-IPO. Rentang harga penawaran awal ditetapkan antara Rp170 hingga Rp190 per saham, sehingga potensi dana yang dihimpun berkisar antara Rp2,12 triliun hingga Rp2,37 triliun.
Setelah IPO, komposisi kepemilikan saham CDIA akan terdiri dari PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA) sebesar 60%, Phoenix Power 30%, dan masyarakat 10%. CDIA menunjuk enam perusahaan sekuritas sebagai penjamin pelaksana emisi efek, antara lain BCA Sekuritas, BNI Sekuritas, DBS Vickers, Henan Putihrai, OCBC Sekuritas, dan Trimegah Sekuritas.
Presiden Direktur CDIA, Fransiskus Ruly Aryawan, menyampaikan bahwa IPO ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat peran perusahaan sebagai mitra pertumbuhan industri nasional. “Kami ingin membuka peluang kolaborasi yang mampu mendorong pengembangan jangka panjang dan bernilai tambah bagi seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya.
Ruly menjelaskan bahwa CDI Group hadir menjawab kebutuhan infrastruktur yang semakin kompleks di tengah pertumbuhan industri. Berbasis di jantung kawasan industri terbesar di Indonesia, CDIA memiliki keunggulan dalam menyediakan layanan logistik, energi, air, kepelabuhanan, dan penyimpanan.
Hingga akhir 2024, CDIA mencatatkan pendapatan sebesar US$102,25 juta. Pendapatan tersebut ditopang oleh segmen kelistrikan sebesar US$80,44 juta, penjualan bahan bakar US$11,42 juta, sewa kapal US$5,62 juta, serta sewa tangki dan dermaga sebesar US$4,77 juta.
CDIA juga menggandeng mitra strategis seperti Krakatau Steel Group, Salim Group, dan Posco, guna memperkuat daya saing di sektor infrastruktur dan industri yang semakin kompetitif.
Adapun dana hasil IPO akan difokuskan untuk memperluas kapabilitas bisnis utama CDIA, terutama pada sektor logistik, pelabuhan, dan penyimpanan. Sekitar Rp871,76 miliar akan dialokasikan untuk ekspansi logistik, termasuk pembelian kapal dan biaya operasional entitas anak. Sementara sekitar Rp1,5 triliun akan digunakan untuk membangun fasilitas tangki penyimpanan, jaringan pipa ethylene, dan sarana pendukung lainnya di kawasan industri strategis.
“Investasi ini bertujuan memperkuat infrastruktur rantai pasok industri hilir yang membutuhkan sistem logistik cair dan gas yang efisien serta berstandar tinggi,” imbuh Ruly.
Potensi Valuasi dan Risiko
Community Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Angga Septianus, menyebutkan bahwa IPO emiten yang terafiliasi dengan konglomerasi besar masih menjadi magnet bagi investor. “Namun investor tetap selektif melihat kualitas calon emiten,” ujarnya.
Dari sisi valuasi, analis Kiwoom Sekuritas, Sukarno Alatas, mencatat bahwa harga IPO CDIA mencerminkan rasio price to earnings (PER) sebesar 43—48 kali dan price to book value (PBV) sebesar 1,5—1,6 kali. Angka tersebut masih lebih rendah dibanding rata-rata industri yang memiliki PER 99 kali dan PBV 14,5 kali.
Meski demikian, Sukarno menekankan sejumlah risiko yang dapat membayangi prospek CDIA ke depan, seperti perubahan regulasi, fluktuasi harga komoditas, hambatan ekspansi proyek, penurunan permintaan industri, hingga tantangan pendanaan. “Risiko-risiko ini bisa berdampak langsung terhadap lini bisnis CDIA, mulai dari infrastruktur energi, air, pelabuhan, hingga logistik,” pungkasnya.