Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan mengevaluasi kembali persetujuan lingkungan hidup atas izin usaha pertambangan (IUP) PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan bahwa Pulau Gag, yang menjadi lokasi aktivitas tambang, memiliki luas 6.030 hektare dan dikategorikan sebagai pulau kecil. Sementara itu, kontrak karya PT Gag Nikel (PT GN) mencakup area seluas 13.136 hektare yang berada sepenuhnya dalam kawasan hutan lindung, termasuk wilayah perairan sekitar pulau tersebut.
Hanif menjelaskan bahwa merujuk pada UU Nomor 19 Tahun 2004 yang mengesahkan Perppu tentang perubahan atas UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, PT Gag Nikel menjadi satu dari 13 perusahaan yang diizinkan melakukan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Meski secara prinsip aktivitas tersebut dilarang, undang-undang tersebut memberikan pengecualian khusus.
“Sebanyak 13 perusahaan, termasuk PT Gag Nikel, secara legal diperbolehkan melakukan kegiatan tambang terbuka sesuai UU Nomor 19 Tahun 2004. Artinya, kegiatan ini sah menurut hukum,” ujarnya dalam konferensi pers pada Minggu (8/6/2025).
Namun demikian, Pulau Gag diklasifikasikan sebagai pulau kecil, yang pelarangan aktivitas tambang di dalamnya diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh bersama pulau besar terdekat.
Selain itu, Pasal 35 huruf k melarang aktivitas pertambangan yang dapat merusak lingkungan, mencemari wilayah pesisir, atau merugikan masyarakat sekitar. UU tersebut memberikan masa transisi selama tiga tahun untuk menyesuaikan perizinan lama agar sesuai dengan regulasi baru.
“Mengingat Pulau Gag merupakan pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam UU, serta mempertimbangkan tingginya kerentanan ekosistem Raja Ampat, maka persetujuan lingkungan PT Gag Nikel akan kami tinjau kembali. Bila ditemukan dampak negatif, pemulihan akan segera diperintahkan,” kata Hanif.
Ia menambahkan, berdasarkan hasil pemantauan lapangan, aktivitas PT Gag Nikel terindikasi memiliki tingkat kerusakan lingkungan yang relatif minor. Perusahaan tersebut telah mengantongi seluruh izin, termasuk dokumen IUP, persetujuan lingkungan, dan pinjam pakai kawasan hutan.
“Secara kasat mata, pelaksanaan tambang nikel di Pulau Gag tergolong mematuhi kaidah lingkungan. Tidak terlihat pencemaran yang berat, meski tetap ada beberapa pelanggaran minor. Namun kami tetap akan melakukan kajian teknis lebih dalam,” jelasnya.
KLHK juga berencana melakukan uji laboratorium, termasuk untuk menelusuri kemungkinan sedimentasi yang menutupi permukaan terumbu karang—dampak potensial dari aktivitas tambang. Hanif mengakui bahwa kehadiran tambang di wilayah Raja Ampat dapat memicu sedimentasi, dan seluruh pulau di wilayah ini dikelilingi oleh koral yang berfungsi sebagai habitat penting bagi kehidupan laut.
“Atas dampak yang terjadi, kami akan segera perintahkan pemulihan lingkungan. Yang perlu ditinjau kembali adalah apakah seluruh aspek teknis dan kaidah lingkungan dalam penambangan di Pulau Gag telah sepenuhnya terpenuhi,” tegasnya.
Sementara itu, Plt Presiden Direktur PT Gag Nikel, Arya Arditya, menyatakan bahwa pihaknya menghormati keputusan pemerintah dan siap menghentikan sementara operasional di Pulau Gag jika diperlukan. Arya menegaskan komitmen perusahaan terhadap prinsip Good Mining Practices serta transparansi dan kepatuhan terhadap regulasi.
“Gag Nikel telah memiliki seluruh perizinan operasional dan menjalankan kegiatan tambang berkelanjutan sesuai prinsip yang berlaku. Kami siap memberikan semua dokumen pendukung yang diminta Kementerian ESDM,” kata Arya dalam pernyataannya.