Presiden Xi Jinping kembali menjadi sorotan dalam dunia keuangan global setelah menyatakan sikap tegas terhadap kebijakan tarif balasan yang diberlakukan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump. Xi telah menjabat sebagai pemimpin tertinggi Tiongkok sejak tahun 2013 dan mencatatkan rekor sebagai presiden dengan masa jabatan terlama di negara tersebut.
Walaupun begitu, kemajuan pesat ekonomi Tiongkok sejatinya sudah dimulai jauh sebelum era Xi, tepatnya sejak reformasi ekonomi yang dimotori oleh Deng Xiaoping pada akhir 1970-an. Saat itu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok melonjak rata-rata 9–10% per tahun, membawa negara ini menuju status sebagai kekuatan ekonomi dunia. Pada 2010, Tiongkok menyalip Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia—posisi yang masih dipegangnya hingga kini.
Diperkirakan, pada tahun 2030 mendatang, Tiongkok akan melampaui Amerika Serikat dalam hal kekuatan ekonomi.
Apa yang dilakukan Deng Xiaoping dalam reformasinya? Di bidang ekonomi, ia membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi asing. Di sektor pendidikan, ribuan pelajar dikirim ke luar negeri, khususnya ke Amerika, untuk menimba ilmu. Dalam politik luar negeri, Tiongkok mengedepankan pendekatan pragmatis yang menghindari konflik dan mempererat hubungan internasional.
Percepatan pembangunan ekonomi Tiongkok dipicu oleh dua faktor utama: investasi besar-besaran dan lonjakan produktivitas. Menurut Bank Dunia, pada tahun 2016 nilai tambah industri manufaktur Tiongkok 49,2% lebih tinggi dibandingkan AS, menjadikannya sebagai negara manufaktur paling dominan di dunia.
Sebagai perbandingan, pada tahun 1952 Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok hanya mencapai USD 30 miliar. Namun, sejak era Deng Xiaoping, nilai tersebut meningkat tajam. Pada tahun 1978, PDB Tiongkok mencapai USD 149,5 miliar, atau sekitar 1,7% dari total ekonomi dunia. Fast forward ke 2023, angka tersebut melonjak drastis menjadi USD 17,8 triliun atau 16,9% dari PDB global, menjadikan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi nomor dua secara global.
Tak hanya itu, sektor ekspor juga mencatat pertumbuhan mencolok. Di tahun 1950, nilai ekspor Tiongkok hanya USD 1,1 miliar. Namun pada 2023, nilainya melonjak menjadi USD 5,9 triliun, yang setara dengan 12,4% dari total ekspor dunia. Di sektor jasa, perdagangannya juga meningkat pesat, dari hampir nihil di tahun 1950 menjadi USD 933,1 miliar pada 2023—menempatkan Tiongkok di posisi keempat dunia.
Dalam hal inovasi teknologi, jumlah paten yang diajukan di Tiongkok mengalami lonjakan signifikan: dari 8.558 pada awalnya, menjadi lebih dari 1,6 juta pada 2022.
Namun, perjalanan Tiongkok tidak selalu mulus. Pada tahun 2018, saat Trump menjabat sebagai Presiden AS, perang dagang antara kedua negara pecah. AS menaikkan tarif hingga 25% terhadap impor senilai USD 34 miliar dari Tiongkok. Sebagai respons, Tiongkok membalas dengan tarif serupa untuk barang-barang dari AS, termasuk produk otomotif dan pertanian. Perang dagang ini secara ekonomi lebih menguntungkan AS, dengan tarif dikenakan terhadap barang Tiongkok senilai USD 550 miliar, sementara Tiongkok hanya mampu membalas atas barang AS senilai USD 185 miliar. Indeks dolar dan saham AS bahkan menunjukkan tren positif beberapa bulan setelah perang dimulai.
Kini, menghadapi ketegangan serupa dalam masa kepemimpinan Trump yang kedua, Tiongkok tampak jauh lebih siap. Negeri Tirai Bambu ini telah menyempurnakan berbagai aspek domestik—dari kualitas sumber daya manusia yang kian unggul hingga sistem pendidikan yang mendorong penelitian dan pengembangan. Universitas-universitas lokal kini menjadi magnet bagi pelajar internasional. Pemerintah juga memberikan stimulus besar pada industri domestik melalui kebijakan pajak ringan, subsidi, dan kemudahan ekspor.
Dengan nilai perdagangan mencapai USD 5,9 triliun, Tiongkok kini menjadi eksportir terbesar di dunia. Sektor hiburan pun ikut menyumbang pencapaian besar: film animasi Ne Zha 2 meraup pendapatan fantastis sebesar USD 2,085 miliar (sekitar IDR 34,1 triliun), menjadikannya film animasi dengan pendapatan tertinggi kelima sepanjang masa.
Selain memperkuat industri dalam negeri, Tiongkok juga aktif membangun hubungan global lewat inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI). Melalui proyek ini, Tiongkok membangun pelabuhan dan infrastruktur di berbagai benua demi meningkatkan konektivitas ekonomi global. Strategi ini mengukuhkan posisi Tiongkok sebagai pusat manufaktur dunia, berkat biaya tenaga kerja yang rendah, insentif fiskal, dan regulasi bisnis yang mendukung.
Tiongkok juga unggul dalam inovasi teknologi, mulai dari kecerdasan buatan, panel surya, drone, hingga kendaraan listrik. Mereka menciptakan solusi teknologi dengan biaya lebih rendah dibandingkan AS, membuatnya lebih terjangkau bagi negara lain. Di sisi lain, Tiongkok juga melakukan diversifikasi industri dengan merelokasi pabrik ke negara lain, mengurangi ketergantungannya terhadap pasar AS.