Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa sejumlah pejabat dari Bank DKI dan Bank Jateng sebagai bagian dari penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex/SRIL).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa di antara pejabat Bank DKI yang diperiksa adalah SR selaku Pemimpin Divisi Hukum Corporate dan Perkreditan, JRZ yang menjabat sebagai Pemimpin Departemen Pencairan Pinjaman Group Operasional pada 2018–2023, HG yang merupakan Pemimpin Divisi Risiko Kredit atau Pembiayaan Menengah dan Treasury periode 2017–2023, serta ARA yang menjabat Vice President Bisnis Komersial II.
Dari pihak Bank Jateng, Harli menyebut dua nama yang telah dimintai keterangan, yakni TS yang bekerja sebagai Analis Kredit Keuangan di Kantor Layanan Surakarta pada 2018–2021, serta FAP yang menjabat sebagai Kepala Seksi Legal dan Administrasi Kredit di Cabang Salatiga PT BPD Jateng.
“Pemeriksaan saksi-saksi ini bertujuan untuk memperkuat alat bukti dan melengkapi berkas perkara yang sedang ditangani,” ujar Harli dalam keterangannya di Jakarta pada Senin malam (26/5).
Sebelumnya, Kejagung mengungkapkan bahwa total kredit macet yang belum diselesaikan oleh Sritex mencapai Rp3,58 triliun. Dana tersebut berasal dari fasilitas pinjaman yang diberikan oleh sejumlah bank milik negara, termasuk perbankan daerah dan anggota Himbara.
Rinciannya, Bank Jateng tercatat memberikan kredit sebesar Rp395 miliar, diikuti oleh Bank BJB sebesar Rp543 miliar, dan Bank DKI dengan kredit senilai Rp149 miliar. Selain itu, Sritex juga menerima pembiayaan dari konsorsium bank seperti Bank BNI, Bank BRI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan total nilai mencapai Rp2,5 triliun.
Menurut Harli, saat ini fokus penyidikan ditujukan pada kredit yang disalurkan oleh bank-bank milik negara, mengingat potensi kerugian negara yang timbul dari kasus ini. Data terakhir menunjukkan bahwa total piutang tetap terhadap Sritex mencapai Rp29,8 triliun per Januari 2025, yang terdiri dari tagihan kreditur preferen sebesar Rp619,5 miliar, kreditur separatis sebesar Rp919,7 miliar, dan kreditur konkuren sebesar Rp28,3 triliun.