Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, subsektor industri alat angkutan lainnya serta industri pengolahan tembakau mencatatkan tingkat kepercayaan konsumen yang paling tinggi. Sebaliknya, industri kulit, produk berbahan kulit, dan alas kaki, serta industri peralatan listrik menunjukkan kinerja yang melemah.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki, Rizky Aditya Wijaya, menjelaskan bahwa tekanan pada sektor kulit dan alas kaki disebabkan oleh lonjakan harga yang terjadi sejak Maret 2025. Kenaikan harga tersebut membuat konsumen dalam negeri menunda pembelian barang-barang yang bersifat tahan lama, termasuk alas kaki.
“Ditambah lagi, kontraksi ekonomi di Amerika Serikat menyebabkan penurunan permintaan ekspor alas kaki dari Indonesia. Padahal, sekitar 43% produksi alas kaki nasional ditujukan untuk pasar ekspor,” ujar Rizky dalam pernyataan resminya di laman Kemenperin.
Situasi ini semakin diperumit oleh adanya kebijakan tarif resiprokal dari AS yang memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri. Banyak perusahaan akhirnya memilih menunda investasi dan mengambil pendekatan menunggu hingga kondisi pasar membaik.
Namun demikian, Rizky tetap optimistis terhadap masa depan industri alas kaki. Ia mengungkapkan bahwa dalam periode Januari hingga Mei 2025, terdapat 12 investasi asing berskala besar yang masuk ke sektor ini. Total nilai investasinya mencapai Rp8 triliun dengan kapasitas produksi mencapai 64,6 juta pasang alas kaki dan 214,6 juta komponen alas kaki. Semua investasi tersebut telah mendapatkan persetujuan resmi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA), Reni Yanita, menambahkan bahwa sebagian besar pelaku usaha di sektor kulit dan alas kaki berasal dari skala kecil dan menengah. Mereka sangat bergantung pada kebijakan yang berpihak pada industri dalam negeri.
“Kampanye nasional seperti Bangga Buatan Indonesia serta kebijakan pemerintah untuk mengutamakan pembelian produk lokal perlu terus didorong dan direalisasikan dalam bentuk nyata, yaitu dengan membeli produk dalam negeri,” ujar Reni.
Untuk sektor industri aneka (KBLI 32), kinerja sepanjang 2025 menunjukkan pertumbuhan yang positif. Menurut Reni, industri ini menghasilkan produk konsumsi akhir yang sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan serta daya beli masyarakat.
Namun, kebijakan proteksionis dari AS terhadap produk-produk asal Indonesia menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha, khususnya di subsektor seperti industri alat musik, bulu mata palsu, dan rambut palsu, yang kini mulai melambat.
Untuk menghadapi tantangan ini, Kemenperin mengambil sejumlah langkah, antara lain mendorong konsumsi domestik melalui kerja sama mitra strategis, memperluas penggunaan relaksasi TKDN-IK, memperkuat penjualan digital, menyelenggarakan pameran, serta mengoptimalkan perjanjian dagang internasional.
Sedangkan di sektor industri peralatan listrik, terjadi penurunan produksi yang dipicu oleh rendahnya penyerapan produk di pasar. Direktur Industri Elektronika dan Telematika, Ronggolawe Sahuri, menyebutkan bahwa beberapa faktor lain juga turut berperan, seperti daya beli masyarakat yang melemah, adanya perubahan alokasi anggaran konsumen karena faktor musiman, kesulitan pasokan bahan baku, dan membanjirnya produk impor.