Kinerja Industri Pengolahan Nonmigas Melambat, PMI Manufaktur Indonesia Terperosok di Bawah 50

2 Min Read

Industri pengolahan nonmigas di Indonesia mencatat perlambatan pertumbuhan pada kuartal I/2025. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan sektor ini hanya mencapai 4,31% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan capaian kuartal I/2024 sebesar 4,64% yoy.

Sejumlah subsektor bahkan mengalami kontraksi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB). Industri pengolahan tembakau menjadi sektor dengan kinerja terburuk, menyusut hingga -3,77% yoy. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, industri ini masih tumbuh kuat di angka 7,63% yoy. Secara triwulanan (quarter-to-quarter/qtq), penurunan juga berlanjut dengan kontraksi -9,09% pada kuartal sebelumnya.

Industri alat angkutan juga mencatat kontraksi -3,46% yoy pada kuartal I/2025. Meski lebih baik dibanding kuartal I/2024 yang menyusut -5,26% yoy, kinerjanya tetap negatif. Pada kuartal IV/2024, pertumbuhan industri ini pun masih turun sebesar -0,34% qtq.

Sektor lain yang menunjukkan penurunan mencolok adalah industri barang galian bukan logam—yang mencakup produk seperti semen, kaca, dan keramik—dengan kontraksi -1,68% yoy. Angka ini berbanding terbalik dengan kuartal I/2024 ketika industri tersebut tumbuh 9,98% yoy. Secara kuartalan, pertumbuhan juga turun signifikan ke level -5,04% qtq.

Kinerja melemah juga terlihat pada industri mesin dan perlengkapannya yang turun -0,65% yoy pada awal 2025. Tren ini konsisten dengan penurunan tahun lalu, di mana sektor ini terkontraksi -1,38% yoy, meskipun secara kuartalan sempat tumbuh 1,13% qtq.

Tak hanya dari sisi kontribusi terhadap PDB, perlambatan juga tercermin dari indikator ekspansi manufaktur nasional. Laporan S&P Global mencatat Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia turun drastis ke level 46,7 pada April 2025, dari sebelumnya 52,4 pada Maret.

Penurunan ini menandai fase kontraksi sektor manufaktur dalam lima bulan terakhir, dengan angka di bawah ambang 50 yang menjadi batas ekspansi dan kontraksi. S&P Global menjelaskan bahwa penurunan tajam volume produksi serta melemahnya permintaan baru—baik dari pasar domestik maupun ekspor—menjadi penyebab utama pelemahan sektor ini.

Share This Article