Krisis Besar di PBB, Ribuan Pegawai Terancam PHK

4 Min Read

Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tengah merancang langkah efisiensi besar-besaran senilai 20% atau sekitar US$ 3,7 miliar. Rencana ini berpotensi mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 6.900 pegawai.

Kabar ini disampaikan kepada para staf melalui memo internal yang meminta setiap unit untuk mengajukan rincian program efisiensi paling lambat pada 13 Juni 2025.

- Advertisement -

Menurut laporan Reuters pada Sabtu (31/5/2025), pemangkasan anggaran ini akan mulai diterapkan pada 1 Januari, bertepatan dengan dimulainya siklus anggaran baru.

Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap krisis keuangan PBB yang sebagian besar dipicu oleh masalah pendanaan dari Amerika Serikat (AS), negara yang menyumbang hampir seperempat dari total pendanaan organisasi dunia ini setiap tahunnya.

Selain adanya pemotongan dana bantuan luar negeri yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Donald Trump, yang berdampak besar terhadap lembaga kemanusiaan PBB, AS juga memiliki tunggakan pembayaran iuran untuk tahun fiskal berjalan yang mencapai hampir US$ 1,5 miliar.

- Advertisement -

Meskipun memo tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan keterlambatan pembayaran AS, Pengawas PBB, Chandramouli Ramanathan, menegaskan bahwa efisiensi ini merupakan bagian dari program evaluasi bernama UN80 yang dimulai sejak Maret lalu.

“Langkah ini merupakan upaya ambisius untuk memastikan PBB tetap relevan dalam mendukung multilateralisme di abad ke-21, mengurangi penderitaan manusia, serta membangun masa depan yang lebih baik bagi semua,” ungkap Ramanathan.

Ia juga menambahkan, “Saya berharap semua pihak dapat bekerja sama dalam usaha kolektif ini dengan jadwal yang ketat dan sudah diketahui bersama.”

Dalam sesi briefing kepada para diplomat PBB bulan ini, Sekretaris Jenderal Antonio Guterres menyampaikan bahwa pihaknya tengah mempertimbangkan restrukturisasi besar, termasuk penggabungan beberapa departemen utama dan redistribusi sumber daya ke berbagai wilayah dunia.

Guterres mengungkapkan bahwa PBB berpotensi menggabungkan lembaga, mengurangi jumlah pegawai, memindahkan staf ke lokasi dengan biaya hidup lebih rendah, menekan duplikasi tugas, dan memangkas birokrasi yang berlebihan.

“Meski ini adalah masa yang penuh tantangan, namun juga merupakan waktu yang menawarkan peluang sekaligus kewajiban besar,” kata Guterres pada 12 Mei lalu.

Ia menambahkan, “Keputusan sulit dan tidak nyaman memang menanti. Mungkin terasa lebih mudah untuk mengabaikan atau menundanya, tapi itu akan menjadi jalan buntu.”

Krisis likuiditas yang dialami PBB juga diperburuk oleh keterlambatan pembayaran berulang dari China, yang bersama AS menyumbang lebih dari 40% dana PBB.

Lebih lanjut, selama pemerintahan Trump, AS menarik ratusan juta dolar dalam bentuk dana diskresioner yang mengakibatkan penghentian mendadak puluhan program kemanusiaan PBB. Menurut pejabat PBB, situasi ini dapat menyebabkan dampak fatal bagi korban yang seharusnya mendapat bantuan.

Rancangan anggaran AS untuk tahun mendatang, yang menunggu persetujuan Kongres, telah menghilangkan atau memangkas besar-besaran dana untuk berbagai program PBB, termasuk misi pemeliharaan perdamaian.

Pada April lalu, Tom Fletcher dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyatakan kepada staf bahwa pemotongan anggaran dari AS memaksa mereka mengurangi 20% jumlah staf untuk menutupi defisit senilai US$ 58 juta.

Seorang analis menyatakan, “Diplomat beranggapan Guterres berharap dengan menunjukkan kesiapan melakukan pemotongan ini, pemerintah AS akan melunak dan tidak menghentikan pendanaan PBB.”

Namun, ada pula kemungkinan sebaliknya, bahwa pemerintah justru akan menerima pemotongan tersebut tanpa memberikan kompensasi apapun.

TAGGED:
Share This Article