Krisis Gas Mengintai! Jawa Barat hingga Sumatra Terancam Kekurangan Pasokan

3 Min Read

Indonesia menghadapi ancaman serius terkait pasokan gas bumi, khususnya di wilayah Jawa Barat hingga Sumatra bagian utara. Potensi defisit gas ini diperkirakan terjadi mulai 2025 dan terus memburuk hingga 2035 mendatang. Kondisi ini berisiko memicu lonjakan harga gas domestik, terutama saat permintaan terus meningkat.

Peringatan tersebut awalnya disampaikan oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk dalam forum Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XII DPR RI. Direktur Utama PGN, Arief S Handoko, menjelaskan bahwa kekurangan pasokan akan terus membesar hingga mencapai minus 513 juta kaki kubik standar per hari (MMscfd) pada 2035.

“Kondisi ini disebabkan oleh penurunan produksi alamiah dari blok-blok migas yang ada dan belum berhasilnya eksplorasi dalam menemukan sumber gas baru,” ujar Arief, Senin (28/4).

Situasi paling kritis diprediksi terjadi di Sumatra Utara, yang bisa mengalami defisit gas hingga 96 MMscfd mulai 2028. Hal serupa juga diperkirakan akan menyusul di Sumatra bagian selatan, tengah, serta sebagian wilayah Jawa dan Lampung.

Praktisi migas Hadi Ismoyo menilai, defisit pasokan ini sangat mungkin berdampak pada kenaikan harga gas nasional. “Saat permintaan naik sementara pasokan turun, wajar jika harga ikut melonjak,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (1/5).

Menurut Hadi, penurunan pasokan di Jawa Barat antara lain disebabkan oleh menurunnya kontribusi dari dua blok penting, yaitu Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES) dan Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ).

Kedua wilayah kerja ini telah menjadi sumber utama gas sejak era 1980-an, namun kini mengalami penurunan produksi secara alamiah (natural decline).

Di sisi lain, kebutuhan gas nasional terus meningkat, termasuk di Aceh dan Sumatra Utara. Di wilayah tersebut, lapangan gas Arun yang dahulu menjadi andalan, kini tak lagi mampu menopang kebutuhan industri setempat.

Meski demikian, beberapa langkah mitigasi telah tersedia. Fasilitas Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) di Teluk Jakarta dan Arun sudah beroperasi untuk mengalirkan gas hasil regasifikasi LNG dari Bontang dan Tangguh.

Namun, Hadi menegaskan bahwa harga gas dari LNG cenderung lebih mahal dibandingkan gas pipa, meskipun pasokan dari wilayah timur Indonesia masih cukup.

Hadi juga mendorong pemerintah agar mengoptimalkan infrastruktur jaringan gas nasional, termasuk memastikan konektivitas antara FSRU Nusantara Regas dan jaringan pipa gas Jawa Barat.

Ia menyarankan pembangunan lanjutan proyek jaringan pipa Cisem II guna menghubungkan pasokan dari Gresik ke Cirebon. Hal ini dinilai penting agar surplus gas dari Jawa Timur dapat dialirkan ke wilayah yang kekurangan, seperti Jawa Barat.

Di Sumatra, ia mengusulkan perluasan jaringan dari Belawan ke kawasan industri Sei Mangkei dan Dumai sebagai upaya distribusi gas yang lebih merata.

“Pembangunan jaringan ini harus menjadi prioritas, demi kepentingan industri dan masyarakat luas,” tegas Hadi.

Pemerintah diharapkan segera merespons dengan kebijakan yang mendukung pengembangan infrastruktur dan eksplorasi sumber gas baru, agar ketahanan energi nasional tetap terjaga dalam jangka panjang.

Share This Article