Laba Melonjak, BTPN Syariah Catat Kinerja Terbaik dalam 7 Kuartal

4 Min Read

PT BTPN Syariah Tbk (BTPS) mencatat kinerja impresif sepanjang kuartal pertama 2025, berkat perbaikan signifikan pada kualitas asetnya. Perusahaan pembiayaan ultra mikro ini sukses memulihkan bisnis para nasabah yang sebelumnya terdampak pandemi Covid-19, melalui optimalisasi proses bisnis yang lebih solid.

Keberhasilan tersebut tercermin dari lonjakan laba bersih yang mencapai Rp311 miliar, tumbuh 18% secara tahunan (YoY). Direktur BTPN Syariah, Fachmy Achmad, menyatakan bahwa dua tahun terakhir merupakan masa yang penuh tantangan, dan fokus utama bank adalah memperkuat kualitas aset, bukan ekspansi.

“Ini adalah kinerja terbaik kami dalam tujuh kuartal terakhir. Model bisnis yang kami terapkan menunjukkan efektivitasnya,” ungkap Fachmy kepada media, Jumat (25/4).

Penurunan beban provisi menjadi salah satu pendorong utama kenaikan laba, meski pendapatan distribusi bagi hasil mengalami sedikit pelemahan. Pada kuartal I 2025, beban provisi tercatat Rp215 miliar, menyusut 43,8% secara tahunan.

Hal ini turut mengurangi tekanan terhadap pembiayaan bermasalah (NPF), yang secara gross berada di level 3,6% — membaik dibanding kuartal sebelumnya sebesar 4%.

BTPN Syariah juga mencatat rasio NPF net hanya 0,03%, berkat pencadangan yang hampir 100% terhadap NPF. Selain itu, indikator keterlambatan kewajiban nasabah dalam 30 hari (x-days) terus menurun selama tujuh kuartal berturut-turut, kini mencapai 0,71%.

Sementara itu, restrukturisasi pembiayaan menunjukkan penurunan drastis. Hanya Rp 67 miliar pada tiga bulan pertama tahun ini, jauh di bawah angka Rp545 miliar pada periode yang sama tahun lalu. “Ini menunjukkan bahwa kondisi nasabah kami semakin stabil,” ujar Fachmy.

Ekspansi Selektif dan Terarah

Meski mencatat pemulihan signifikan, ekspansi pembiayaan dilakukan dengan hati-hati. Fokus diberikan kepada nasabah lama yang masih produktif, serta calon nasabah baru yang memiliki rekam usaha minimal dua tahun.

“Seleksi pencairan pembiayaan kami sangat ketat, terutama di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sementara ekspansi nasabah baru diarahkan ke wilayah seperti Gorontalo, Bengkulu, dan Palu,” jelas Fachmy.

Hingga Maret 2025, total pembiayaan BTPS mengalami kontraksi 6% YoY menjadi Rp10,3 triliun, namun menunjukkan pertumbuhan 1% secara kuartalan. Pendapatan setelah distribusi bagi hasil pun sedikit terkoreksi 5,7% menjadi Rp 1,17 triliun.

Di sisi lain, Dana Pihak Ketiga (DPK) juga menyesuaikan arah pertumbuhan pembiayaan. Total DPK per akhir Maret tercatat sebesar Rp11,6 triliun, mengalami penurunan sekitar 1% YoY.

Langkah Diversifikasi Usaha

Pandemi menjadi pelajaran penting bagi BTPS. Ketergantungan pada satu segmen pasar dinilai menyimpan risiko besar. Selama ini, BTPS hanya fokus pada pembiayaan ultra mikro, khususnya perempuan unbankable melalui program pemberdayaan Community Officer (CO).

Untuk itu, BTPS tengah bersiap memperluas segmen bisnis ke ranah mikro bawah (low micro). Produk baru ini dijadwalkan meluncur akhir tahun di Aceh, sebagai langkah awal diversifikasi.

“Karena kami berakar di segmen ultra mikro, kami memilih berkolaborasi dengan bank induk dalam ekspansi ke low micro,” tutur Fachmy.

Inisiatif ini juga didukung oleh studi banding ke India. Dari sekitar 150 pemain pembiayaan ultra mikro di sana, hanya segelintir yang mampu bertahan. Kuncinya, menurut Fachmy, adalah kekuatan model bisnis.

“Tantangan di pasar mikro sangat besar. Mereka yang sukses adalah yang memiliki strategi dan model bisnis yang solid,” tandasnya.

Proyeksi Positif

Dengan momentum positif di awal tahun, BTPS optimistis kualitas aset akan terus membaik hingga akhir 2025. Penguatan organisasi dan proses bisnis juga akan menjadi fokus untuk menopang pertumbuhan yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Share This Article