PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) membuka tahun 2025 dengan performa yang tertekan. Emiten milik negara di sektor batu bara ini mencatat penurunan laba bersih drastis sebesar 50,50% year-on-year (YoY), dari Rp790,94 miliar pada kuartal I/2024 menjadi hanya Rp391,47 miliar per akhir Maret 2025.
Ironisnya, pendapatan perseroan justru mengalami kenaikan tipis 5,83% secara tahunan, dari Rp9,4 triliun menjadi Rp9,96 triliun. Namun, lonjakan beban pokok pendapatan sebesar 11,5% YoY menjadi Rp8,9 triliun membuat laba bruto ikut tergerus dari Rp1,41 triliun menjadi Rp1,04 triliun.
Sekretaris Perusahaan PTBA, Niko Chandra, menjelaskan bahwa tekanan terbesar datang dari penurunan harga batu bara global. “Rata-rata indeks harga batu bara Newcastle terkoreksi hingga 17% secara tahunan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (28/5/2025).
Selain itu, meningkatnya harga rata-rata bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai Rp15.127 per liter turut menambah beban operasional, terutama di tengah meningkatnya volume produksi dan jarak distribusi.
Analis OCBC Sekuritas, Devi Harjoto, menyoroti pelemahan ekspor sebagai salah satu biang keladi utama. Penjualan ke pasar ekspor utama seperti China dan India merosot tajam. Penjualan ke China anjlok 71,17% YoY menjadi hanya Rp96,52 miliar, sementara ke India turun 25,23%, dan ke Korea Selatan menyusut hingga 78,76%. Bahkan pasar domestik tak luput dari tekanan dengan penurunan penjualan sebesar 10,80%.
Di tengah tekanan itu, secercah harapan datang dari kebijakan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang dirilis oleh PT PLN. RUPTL terbaru ini menargetkan total kapasitas pembangkit sebesar 69,6 gigawatt (GW), naik dari 40,6 GW dalam versi sebelumnya. Meski mayoritas alokasi (76%) diperuntukkan bagi energi baru dan terbarukan (EBT), pembangkit berbasis fosil masih mendapat porsi 16 GW, dengan 6,3 GW di antaranya dialokasikan untuk batu bara.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai bahwa kebijakan ini membuka peluang pemulihan bagi emiten yang fokus pada pasar domestik seperti PTBA. “PTBA lebih mengandalkan penjualan domestik dibandingkan emiten seperti Alamtri atau Agro Grup yang fokus ekspor,” katanya.
Senada, Head of Research PT Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menyebut RUPTL dapat memberikan angin segar bagi emiten batu bara dengan kontrak pasokan domestik. “Dengan fokus pada pasar dalam negeri dan strategi hilirisasi, PTBA berpotensi memetik manfaat dari arah kebijakan ini,” ujarnya.
PTBA saat ini tengah memperkuat transformasi bisnis melalui proyek hilirisasi, termasuk pengembangan pilot project konversi batu bara menjadi Artificial Graphite dan Anode Sheet untuk bahan baku baterai lithium-ion. Langkah ini menandai komitmen jangka panjang perusahaan dalam transisi energi.
Meski begitu, sejumlah analis menilai RUPTL belum cukup kuat untuk memulihkan kinerja PTBA dalam jangka pendek. Devi menekankan bahwa penjualan domestik ke PLN masih mengikuti harga patokan, sehingga sentimen RUPTL lebih bersifat netral-positif. “Volume penjualan memang positif, tapi dalam jangka panjang masih perlu dilihat lagi dampaknya secara menyeluruh,” jelasnya.
Menurut Devi, penentu utama prospek pemulihan PTBA adalah perkembangan proyek infrastruktur transportasi batu bara seperti jalur Tanjung Enim–Kramasan, serta pergerakan harga jual rata-rata (ASP).
Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, juga menegaskan bahwa kenaikan harga batu bara global tetap menjadi kunci utama pemulihan signifikan. “Dengan kepastian permintaan dari RUPTL, sentimen terhadap PTBA memang membaik. Namun, pemulihan nyata tetap membutuhkan kenaikan harga komoditas,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Niko Chandra menegaskan bahwa PTBA tetap mendukung pengembangan PLTU untuk memasok energi ke proyek strategis anggota Grup MIND ID. “Kami berkomitmen menyediakan energi bagi proyek-proyek strategis dalam Grup MIND ID,” katanya.
Seiring arah transformasi, PTBA juga mulai serius menggarap proyek energi baru dan terbarukan, seperti pengembangan PLTS di lahan pascatambang. Ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang perusahaan dalam menghadapi era transisi energi.
Disclaimer: Artikel ini bersifat informatif dan bukan merupakan rekomendasi investasi.