Meskipun telah keluar dari Grand Project ekosistem baterai listrik berbasis nikel, investasi LG Energy Solution (LGES) di Indonesia tetap berlanjut. Posisi LGES dalam proyek tersebut kini digantikan oleh produsen baterai asal China, Zhejiang Huayou Cobalt.
LGES memilih untuk fokus pada pengembangan pabrik sel baterai yang merupakan bagian dari joint venture (JV) dengan Hyundai, yaitu PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power. Perusahaan asal Korea Selatan ini berencana untuk menambah investasi sebesar US$1,7 miliar atau sekitar Rp28 triliun.
Pabrik PT HLI, yang juga dikenal dengan nama Proyek Omega, merupakan JV ke-4 dalam Grand Project ekosistem baterai Indonesia, yang akan memproduksi cells battery untuk mendukung kebutuhan kendaraan listrik di pabrik Hyundai. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan bahwa total investasi LGES dan Hyundai di pabrik HLI mencapai US$1,1 miliar atau setara Rp18,46 triliun. Pabrik ini telah mulai beroperasi sejak Juli 2024.
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Rosan Roeslani, mengungkapkan bahwa LG tetap berkomitmen penuh terhadap proyek pabrik sel baterai tersebut.
“Mereka telah melakukan pembicaraan awal dengan kami untuk menambah investasi mereka, yang sebelumnya US$1,1 miliar, kini ingin ditambah US$1,7 miliar untuk pengembangan ekspansi,” kata Rosan dalam konferensi pers pada Selasa (29/4/2025).
Rosan juga menyatakan bahwa dia akan mengunjungi pabrik tersebut pada Rabu (30/4/2025) untuk membahas lebih lanjut rencana ekspansi. Pihaknya memberikan apresiasi kepada LG karena tetap berkomitmen pada pabrik sel baterai yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat. Selain itu, Rosan menegaskan bahwa JV 4 ini merupakan bagian dari Grand Package yang telah berhasil terealisasi.
“Total investasi untuk JV 4 ini bisa mencapai US$2,8 miliar, sesuai dengan target awal,” jelasnya.
Meskipun demikian, LG memutuskan untuk mundur dari JV 1-3 dalam megaproyek baterai Indonesia. Rosan mengakui bahwa Grand Package ekosistem baterai Indonesia melibatkan transaksi besar dengan struktur yang kompleks.
“Total investasi LG awalnya mencapai US$9,8 miliar, terbagi dalam empat bagian dengan masing-masing JV yang berbeda,” tambahnya.
Pada JV 1, LG menjadi pemegang saham minoritas dalam proyek pertambangan bersama BUMN Indonesia, Aneka Tambang (ANTM). Sementara pada JV 2-3, proyek tersebut melibatkan pengolahan produk tambang menjadi nickel matte, yang kemudian diproses menjadi nickel sulfat, prekursor, katoda, anoda, dan akhirnya cells battery serta baterai pack.
Rosan menyebutkan bahwa meskipun LG keluar dari JV 1-3, negosiasi yang berjalan cukup panjang adalah hal yang wajar dalam transaksi sebesar itu. Apalagi, pihaknya telah menemukan pengganti LG, yaitu Zhejiang Huayou Cobalt Co., yang telah berinvestasi di Morowali dan Weda Bay, Sulawesi dan Maluku Utara.
“Huayou tertarik untuk menggantikan posisi LG, dan kami telah bertemu dengan mereka,” ungkap Rosan.
Prospek Investasi LG di Ekosistem Baterai Indonesia
Andry Satrio Nugroho, Head of Center of Industry, Trade, and Investment Indef, menilai keputusan LG untuk fokus mengembangkan sel baterai berbasis nikel bersama Hyundai merupakan respons terhadap kondisi pasar baterai listrik berbasis nikel yang kurang berkembang.
“Regulasi di Indonesia tidak memberikan keuntungan signifikan dalam memproduksi baterai listrik berbasis nikel,” ujarnya kepada Bisnis pada Selasa (29/4/2025).
Andry juga menyoroti bahwa Indonesia Battery Corporation (IBC), sebagai mitra pengembangan ekosistem baterai, memiliki kepentingan untuk memastikan baterai yang diproduksi di Grand Project menggunakan nikel. Namun, ia menilai bahwa investor di sektor hulu ekosistem baterai masih ragu, mengingat pasar dan regulasi yang tidak mendukung elektrifikasi berbasis nikel.
“Kita fokus pada elektrifikasi, tetapi kita lupa bahwa kita mendorong ekosistem kendaraan listrik berbasis nikel, sementara pemain global lebih memilih LFP (Lithium Ferro Phosphate) karena lebih unggul dalam hal harga,” katanya.
Proyeksi Investasi Sektor Baterai di Indonesia
Menurut perhitungan Tenggara Strategics, hingga 2024, investasi di ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) diproyeksikan dapat memberikan nilai tambah sebesar Rp29,6 triliun bagi perekonomian Indonesia, dengan kontribusi 0,2% terhadap PDB 2020. Peningkatan terbesar berasal dari sektor hilir yang diperkirakan mencapai Rp10,8 triliun.
Pengembangan ekosistem KBLBB diproyeksikan akan menciptakan sekitar 527.477 pekerjaan di sektor manufaktur pada 2030 dan diperkirakan meningkat menjadi 2 juta pekerjaan pada 2060. Sejak Perpres No. 55/2019 diterbitkan, Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan dalam kebijakan kendaraan listrik, termasuk insentif pajak dan standar teknis pengisian daya.
Hal ini mendorong produsen otomotif global seperti Hyundai, Wuling, BYD, dan MG untuk berinvestasi dalam pabrik perakitan KBLBB di Indonesia, sementara produksi baterai dimulai di Karawang lewat kerja sama antara Hyundai dan LG.
Meskipun penjualan mobil listrik di Indonesia meningkat pesat, adopsi kendaraan listrik baru masih terbatas pada 5% dari total penjualan mobil, menunjukkan bahwa penetrasi KBLBB masih menghadapi tantangan besar.
Pemerintah diharapkan untuk memperkuat kebijakan, seperti memberikan potongan pajak untuk pembelian mobil listrik oleh perusahaan dan membangun infrastruktur pengisian daya di apartemen, mirip dengan kebijakan yang diterapkan di China dan Singapura.