Makin Marak! Ajakan Gagal Bayar Pinjol di Media Sosial Rugikan Fintech

4 Min Read

Fenomena masyarakat yang dengan sengaja tidak melunasi utang dari layanan pinjaman online (pinjol) atau fintech peer-to-peer (P2P) lending kembali menjadi sorotan.

Lonjakan kasus ini diduga kuat dipicu oleh ajakan sejumlah komunitas di media sosial yang mendorong perilaku gagal bayar (galbay). Ribuan orang terindikasi ikut dalam tren ini dan memilih untuk tidak memenuhi kewajiban pelunasan utangnya.

- Advertisement -

Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S Djafar, mengungkapkan bahwa kelompok-kelompok pengajak galbay tersebut tersebar luas di berbagai platform digital seperti Facebook, Instagram, YouTube, TikTok, hingga X (dulu Twitter). Bahkan, beberapa dari komunitas ini telah memiliki puluhan ribu hingga ratusan ribu anggota aktif.

“Kelompok galbay ini banyak beredar di media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook, dan TikTok. Keberadaan mereka sangat mengganggu dan tentu merugikan industri fintech,” ujar Entjik, Senin (16/6/2025).

Entjik menyampaikan bahwa ajakan-ajakan tersebut tidak hanya menarik perhatian masyarakat, tetapi juga benar-benar diikuti secara masif. Banyak anggota komunitas media sosial yang tergoda untuk menunda atau bahkan sama sekali tidak membayar utangnya.

- Advertisement -

“Jumlahnya tidak sedikit. Di Facebook, anggota mereka bisa mencapai ribuan hingga ratusan ribu. Itu menunjukkan tren ini cukup luas,” tambahnya.

Ironisnya, ajakan ini tidak hanya menyasar orang-orang yang baru akan mengajukan pinjaman, tetapi juga mereka yang sudah memiliki utang. Banyak di antaranya yang memutuskan untuk berhenti membayar meskipun sebelumnya telah menerima dana pinjaman.

“Yang paling banyak itu sebenarnya bukan yang baru pinjam, tapi yang sudah meminjam dan dengan sengaja tidak ingin melunasi,” jelasnya.

Entjik menambahkan bahwa pola perilaku masyarakat yang mengikuti ajakan tersebut makin terlihat jelas saat proses penagihan dilakukan. Banyak peminjam menggunakan strategi yang diajarkan oleh kelompok-kelompok tersebut, seperti mengganti nomor telepon, memblokir panggilan, atau tidak merespons penagihan sama sekali.

“Ketika kami melakukan penagihan, terlihat bahwa mereka mengikuti saran dari komunitas galbay seperti mengganti nomor, mematikan nomor, dan menghindar dari tanggung jawab,” terangnya.

Akibat meluasnya ajakan galbay ini, industri fintech P2P lending mengalami dampak signifikan, terutama dalam bentuk kerugian finansial dan peningkatan angka kredit macet atau Non Performing Loan (NPL).

“Kerugiannya tentu besar karena meningkatkan NPL. Walaupun belum ada data pasti, tapi kami yakin nilainya sangat signifikan,” kata Entjik.

Namun demikian, pihak AFPI kesulitan dalam menghitung secara pasti nilai kerugian karena sulit membedakan mana peminjam yang benar-benar tidak mampu membayar dan mana yang memang sengaja menghindar dari kewajiban.

“Memang sulit dipilah, ada yang benar-benar tidak punya uang, tapi ada juga yang sebenarnya mampu bayar tapi memilih tidak membayar. Inilah yang justru merusak mentalitas masyarakat kita,” ujarnya.

Untuk menindaklanjuti hal ini, AFPI berencana menempuh jalur hukum terhadap individu atau kelompok yang aktif menyebarkan ajakan galbay di media sosial. Entjik menilai tindakan tersebut sebagai perbuatan melanggar hukum yang merugikan sektor fintech secara keseluruhan.

“Mengajak orang melakukan hal yang tidak benar itu bisa dipidanakan. Kami akan membawa ini ke ranah hukum,” tegasnya.

“Kami akan mengambil langkah tegas terhadap oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang telah menyebarkan ajakan galbay ini,” pungkas Entjik.

TAGGED:
Share This Article