Masa Depan Sawit Terancam! Petani Teriak, Regulasi Tumpang Tindih

5 Min Read

Petani kelapa sawit di Indonesia kini menghadapi tekanan berat akibat dua faktor utama: fluktuasi harga tandan buah segar (TBS) dan penertiban kawasan hutan yang semakin gencar namun dinilai tidak transparan.

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai situasi ini mengancam keberlangsungan hidup petani dan menimbulkan kekhawatiran atas peran Indonesia sebagai eksportir utama minyak sawit dunia.

- Advertisement -

“Petani adalah bagian dari rantai pasok, baik nasional maupun global. Jadi, setiap perubahan harga crude palm oil (CPO) pasti berdampak langsung pada harga TBS di tingkat petani,” ujar Mutiara Panjaitan dari DPP Apkasindo dalam acara Bisnis Indonesia Forum bertajuk Sembelit Industri Sawit, Masihkan Prospektif Jadi Penopang? pada Selasa (24/6/2025).

Mutiara menambahkan bahwa para petani tengah dibayangi dua persoalan besar: ketidakstabilan harga CPO yang memunculkan kekhawatiran akan masa depan ekonomi mereka, serta ketidakpastian sosial akibat kebijakan penertiban lahan yang belum sepenuhnya jelas.

Senada, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) juga menyebut bahwa tahun 2025 akan menjadi masa sulit bagi sektor sawit, baik dari sisi produksi, ekspor, maupun harga jual.

- Advertisement -

GAPKI juga menyoroti tarif bea masuk minyak sawit dari Indonesia ke Amerika Serikat yang mencapai 32%, jauh lebih tinggi dari tarif terhadap Malaysia sebesar 24%.

Daya Saing Tergerus, Beban Ekspor Tinggi

Executive Director GAPKI, Mukhti Sardjono, mengungkapkan bahwa tingginya tarif bea masuk menyebabkan Indonesia kalah bersaing di pasar internasional. Beban ekspor minyak sawit dari Indonesia kini mencapai US$221,12 per ton, sedangkan Malaysia hanya US$140 per ton.

Ia juga mencatat bahwa sejak Maret 2025, harga CPO mulai turun dan kini berada di bawah harga minyak nabati lain seperti minyak rapeseed dan sunflower oil, menunjukkan pasar yang mulai stabil namun tetap menantang.

Geopolitik dan Regulasi yang Tumpang Tindih

Situasi global turut memperberat kondisi industri sawit. Konflik internasional seperti perang Rusia-Ukraina, ketegangan di Timur Tengah, dan konflik India-Pakistan turut mendorong lonjakan harga energi, yang pada akhirnya mempengaruhi rantai pasok dan biaya produksi.

Dari dalam negeri, berbagai kendala seperti stagnasi produktivitas, meningkatnya kebutuhan domestik untuk pangan dan energi, serta ketidakpastian hukum, menambah tekanan bagi sektor ini.

Mukhti menyoroti bahwa setidaknya ada 37 lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengaturan industri sawit, menyebabkan regulasi menjadi tumpang tindih dan sering berubah.

Polemik Penertiban Lahan Sawit

Salah satu isu utama lainnya adalah penertiban kawasan hutan yang dilakukan pemerintah melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Meski tujuannya untuk menegakkan aturan, proses ini dinilai belum transparan dan menimbulkan kegelisahan di kalangan petani.

“Banyak petani tidak mendapat informasi yang jelas tentang siapa yang terdampak, area mana yang ditertibkan, dan seberapa luas lahan yang terkena kebijakan,” ungkap Mutiara.

Ia menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan inklusif kepada para petani karena mereka bukan hanya bagian dari rantai pasok, tapi juga pilar ketahanan pangan dan energi nasional.

KPPU dan GAPKI Serukan Langkah Konkret Pemerintah

Anggota KPPU, Eugenia Mardanugraha, mengingatkan bahwa posisi Indonesia sebagai penghasil sawit terbesar di dunia sangat vital bagi stabilitas pangan global. Menurunnya produksi akibat persoalan lahan bisa berdampak pada kenaikan harga pangan dunia.

“Jika kita kalah dari Malaysia hanya karena persoalan internal yang tidak diselesaikan, maka dampaknya akan sistemik bagi ekonomi nasional,” ujar Eugenia.

GAPKI mencatat bahwa dari target penertiban lahan seluas 1,27 juta hektare, baru sekitar 1 juta hektare yang berhasil dikuasai kembali oleh pemerintah hingga 23 Maret 2025. Dari jumlah tersebut, hanya sebagian yang telah diverifikasi dan disiapkan untuk diserahkan ke PT Agrinas sebagai pengelola.

Mukhti mengingatkan bahwa jika pengelolaan lahan hasil penertiban tidak dilakukan secara tepat, hal ini bisa berujung pada penurunan produksi, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga gangguan pada stabilitas industri.

Dorongan untuk Peningkatan Produksi

Eugenia menekankan bahwa pemerintah harus segera memacu produksi di lahan-lahan yang tidak bermasalah untuk menggantikan potensi kehilangan hasil dari lahan yang telah ditertibkan.

“Jika 1 juta hektare tidak produktif, berarti kita kehilangan sekitar 4 juta ton sawit. Ini harus segera diantisipasi agar produksi nasional tidak anjlok,” tegasnya.

Ia menambahkan, demi menjaga posisi strategis Indonesia di pasar global, pemerintah bersama pelaku industri harus menyusun strategi jangka panjang agar industri sawit tetap berkelanjutan dan memiliki prospek cerah ke depan.

TAGGED:
Share This Article