Meskipun harga saham sejumlah bank BUMN seperti BBRI, BMRI, dan BBNI mengalami fluktuasi jelang pembagian dividen pekan ini, konsensus analis menilai saham-saham tersebut masih memiliki ruang kenaikan yang cukup besar dalam jangka menengah.
Data Bloomberg per Senin (21/4/2025) mencatat kinerja yang bervariasi di antara empat bank pelat merah. Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) melemah 0,55% ke Rp3.620 per saham. Sementara itu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) naik tipis 0,22% ke Rp4.610. Saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) terkoreksi 1,24% ke Rp3.990, sedangkan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) anjlok 2,56% ke level Rp920.
Meski terkoreksi, keempat bank tersebut tetap melanjutkan agenda pembagian dividen pekan ini. BBRI dan BMRI lebih dulu menyalurkan dividen pada 23 April 2025. BBRI membagikan dividen sebesar Rp31,4 triliun atau setara Rp208,4 per saham, sedangkan BMRI membagikan Rp43,51 triliun atau Rp466,18 per saham. Selanjutnya, BBNI dan BBTN dijadwalkan menyusul pada 25 April 2025. BBNI akan menyalurkan dividen senilai Rp13,95 triliun atau Rp374,05 per saham, sedangkan BBTN akan membagikan Rp750 miliar atau Rp53,57 per saham.
Di tengah volatilitas harga saham, para analis tetap optimistis. Berdasarkan data Bloomberg Terminal per 21 April 2025, saham BBRI diperkirakan bisa mencapai Rp4.905 dalam 12 bulan ke depan—menawarkan potensi imbal hasil sebesar 35,5%. Sementara itu, BMRI diproyeksikan naik ke Rp6.658 (potensi return 44,4%), BBNI ke Rp5.625 (41%), dan BBTN ke Rp1.317 (43,2%).
Namun, JP Morgan mencatat bahwa saham perbankan telah turun 22% hingga 30% dari puncaknya dalam satu tahun terakhir. Faktor utama yang membebani adalah kekhawatiran atas likuiditas, margin bunga bersih (net interest margin/NIM), serta potensi perubahan regulasi dan kebijakan. JP Morgan juga memperingatkan bahwa kenaikan biaya kredit (credit cost) bisa menekan laba per saham (earnings per share/EPS).
“Setiap kenaikan biaya kredit sebesar 10 basis poin dapat menyebabkan penurunan EPS sebesar 1% hingga 3% untuk bank-bank besar,” tulis JP Morgan dalam laporannya.
JP Morgan memperkirakan biaya kredit akan naik sebesar 30 basis poin pada 2025, yang bisa berdampak pada penurunan EPS sebesar 3% hingga 9%. Penurunan EPS terbesar diprediksi terjadi pada BBNI (3,4%), disusul oleh BBRI (2,7%), BMRI (2,3%), dan BBCA (1,4%).
Secara umum, performa sektor perbankan—terutama bank-bank besar—sangat bergantung pada laju pertumbuhan ekonomi nasional. Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh melambat dari 2024, dengan proyeksi 5,03% year-on-year (YoY). Tim Ekonomi BCA memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI di 2025 hanya akan mencapai 4,9%.
Dalam kondisi ini, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dinilai perlu mengambil langkah aktif untuk mendorong penyaluran kredit. Kredit perbankan diproyeksikan tumbuh 6%-10% YoY pada 2025, sementara dana pihak ketiga (DPK) diperkirakan naik 8%-12% YoY. Hal ini mencerminkan kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit, terutama bank pembangunan rakyat (BPR) dan bank milik negara.
Untuk kredit korporasi, bank akan mempertimbangkan aktivitas bisnis, margin keuntungan, serta prospek ekspansi. Menurut Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia, sektor yang diprediksi memiliki prospek cerah antara lain pendidikan, kesehatan, properti, dan teknologi informasi.
Kebijakan seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG) serta pelonggaran tarif pajak pertambahan nilai (PPN) di sektor properti juga diharapkan dapat mendorong permintaan kredit. Namun, sektor UMKM masih menghadapi tantangan, dan tren konsumsi sejak 2024 belum memberikan dorongan yang signifikan.
“Persaingan antarbank dalam kredit korporasi bisa semakin ketat. Apalagi jika hilirisasi tambang dan logam tetap menjadi motor utama pertumbuhan pada 2025, maka bank-bank BUMN berpotensi menjadi pihak yang paling diuntungkan karena dominasi mereka,” ungkap JP Morgan.