Perang Dagang Usai Tanpa Kemenangan: Ekonom Sebut AS Mundur Tanpa Hasil

4 Min Read

Di tengah klaim keberhasilan dari Gedung Putih terkait kesepakatan dagang terbaru antara Amerika Serikat dan Tiongkok, sejumlah ekonom ternama justru menyampaikan kritik tajam, menyebut hasil kesepakatan tersebut jauh dari kata menguntungkan bagi AS.

Melansir Money Wise, ekonom senior Peter Schiff menyatakan bahwa kesepakatan ini justru menunjukkan kelemahan strategi negosiasi pemerintah AS dalam perang dagang yang telah berlangsung beberapa tahun terakhir.

- Advertisement -

“Bagaimana ini bisa dianggap sebagai kemenangan bagi Trump?” ujar Schiff. Ia menyoroti bahwa meskipun tarif AS terhadap Tiongkok diturunkan dari 145% menjadi 30%, Tiongkok hanya mengurangi tarif balasannya dari 125% menjadi 10%.

“Jika tarif tinggi itu dimaksudkan sebagai taktik negosiasi, maka Tiongkok berhasil membalikkan keadaan,” tegasnya.

Schiff menilai, langkah AS untuk mengakhiri perang dagang tanpa mendapatkan konsesi nyata dari Tiongkok menunjukkan bahwa negara adidaya tersebut tidak memenangkan satu pun pertarungan penting dalam konflik dagang ini.

Sentimen serupa juga disampaikan James Knightley, kepala ekonom internasional di ING, yang dikutip oleh Business Insider. Ia menjelaskan bahwa tarif tinggi awalnya dirancang untuk mendorong perusahaan-perusahaan AS agar memindahkan produksi kembali ke dalam negeri, sekaligus meningkatkan pendapatan pajak.

- Advertisement -

Namun, ia menilai kebijakan tersebut gagal mendorong relokasi manufaktur secara signifikan karena tarif hanya diberlakukan dalam periode terbatas.

Knightley menambahkan bahwa selama periode penurunan tarif selama 90 hari, biaya produksi di Tiongkok masih lebih rendah dibandingkan memproduksi di AS.

Sementara itu, mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers turut berkomentar melalui platform X,
Sangat jelas bahwa Presiden @realDonaldTrump mundur dari posisinya. Tidak ada perubahan kebijakan signifikan dari pihak Tiongkok. Mengakui kesalahan kadang perlu, meskipun terasa memalukan.

Dampak Ekonomi Masih Mengintai

Walau perang dagang seolah telah mereda, berbagai institusi memperingatkan bahwa dampak ekonominya belum selesai. Laporan dari The Budget Lab di Yale University menyebut bahwa tarif rata-rata efektif yang dikenakan kepada konsumen Amerika kini mencapai 17,8%, tertinggi sejak era Depresi Besar pada 1934.

Penelitian tersebut juga memperkirakan bahwa kombinasi tarif AS dan pembalasan dari mitra dagang lain akan menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) riil sebesar 0,7% pada tahun 2025.

Selain itu, tingkat pengangguran diperkirakan akan meningkat sebesar 0,35%, serta inflasi jangka pendek bisa naik 1,7%, yang secara riil akan memangkas daya beli rumah tangga Amerika sebesar sekitar US$2.800 per tahun (berdasarkan nilai dolar 2024).

Ekonom dari Pantheon Macroeconomics, Samuel Tombs, menyatakan kepada The Wall Street Journal bahwa dampak tarif berpotensi menambah sekitar 1% pada indeks harga inti PCE (Personal Consumption Expenditures).

Hal ini menurutnya bisa membuat Federal Reserve enggan menurunkan suku bunga, yang berarti biaya pinjaman, termasuk hipotek dan kredit mobil, tetap tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama.

Dengan kesepakatan dagang yang hanya berlaku selama tiga bulan, para analis juga khawatir bahwa ketidakpastian kebijakan membuat dunia usaha enggan mengambil keputusan investasi jangka panjang.

Dalam situasi seperti ini, konsumen dan investor disarankan untuk tetap waspada dan merancang strategi perlindungan keuangan terhadap potensi guncangan ekonomi ke depan.

Share This Article