Sejumlah pejabat tinggi Federal Reserve (The Fed) menyatakan keprihatinannya terhadap penurunan peringkat kredit Amerika Serikat oleh Moody’s Investors Service, meskipun mereka menyebut akan terus bersikap hati-hati dalam menilai dampaknya terhadap kebijakan moneter dan stabilitas ekonomi.
Dilansir dari Reuters pada Selasa (20/5/2025), para pejabat The Fed sepakat untuk memantau secara cermat konsekuensi dari pemangkasan peringkat utang pemerintah AS tersebut, di tengah ketidakpastian ekonomi dan pasar global yang terus berlanjut.
Wakil Ketua The Fed, Philip Jefferson, menyampaikan bahwa bank sentral akan mengevaluasi penurunan peringkat itu layaknya menelaah semua data ekonomi lainnya.
“Kami akan tetap fokus pada mandat utama tanpa mengomentari dampak penurunan peringkat dalam konteks politik-ekonomi,” tegas Jefferson.
Seperti diketahui, Moody’s menurunkan peringkat kredit pemerintah AS pada Jumat lalu, dengan alasan meningkatnya defisit fiskal dan lonjakan biaya bunga. Moody’s menjadi lembaga pemeringkat besar terakhir yang memangkas status utang AS dari level tertinggi.
Meskipun penurunan ini belum menjadi ancaman langsung bagi The Fed, lonjakan biaya pinjaman akibat sentimen negatif terhadap posisi fiskal AS dapat memperketat aktivitas ekonomi, sekaligus memengaruhi arah kebijakan moneter jangka panjang.
Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic, menambahkan bahwa penurunan peringkat dapat berdampak terhadap biaya modal serta kepercayaan investor.
“Kita mungkin butuh waktu tiga hingga enam bulan untuk melihat dampak riil terhadap minat investasi di AS,” ujarnya.
Menurut Bostic, isu fiskal ini bukanlah hal baru. Pejabat The Fed telah lama memperingatkan bahwa jalur utang jangka panjang AS berada dalam tren yang tidak berkelanjutan. Namun, tekanan terbaru muncul akibat rencana anggaran Partai Republik yang diproyeksikan menambah beban utang, serta kebijakan perdagangan proteksionis dari pemerintahan Donald Trump.
Trump sendiri secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keputusan Moody’s. Sementara itu, pasar saham tertekan pada awal pekan ini akibat kenaikan imbal hasil obligasi.
Berbicara dalam konferensi di New York, Presiden The Fed New York John Williams menyebut kekhawatiran pasar terhadap penurunan peringkat memang nyata, tetapi menurutnya sebagian besar terlalu dibesar-besarkan.
“Meski ada ketidakpastian dan perubahan kebijakan besar, investor masih melihat AS sebagai tempat investasi yang menarik, termasuk untuk obligasi dan aset berbasis dolar,” kata Williams.
Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari, turut menyoroti bahwa menjaga kepercayaan investor adalah elemen penting dalam menjaga kelayakan suku bunga pinjaman pemerintah. Namun, ia mengakui bahwa ketidakpastian global telah meningkat secara signifikan dalam dua tahun terakhir.
“Ada tanda tanya besar tentang posisi kompetitif AS saat ini dibanding negara-negara maju lainnya,” ujar Kashkari.
Ia memperingatkan bahwa peran tradisional pasar obligasi AS sebagai safe haven global bisa tergerus jika aliran investasi mulai berbalik arah, terutama jika pasar kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah AS dalam mengelola fiskal dan geopolitik.
Analis dari Evercore ISI mencatat bahwa penurunan peringkat oleh Moody’s memicu reaksi negatif di pasar obligasi, saham, dan dolar AS secara bersamaan, yang mencerminkan potensi perubahan mendasar dalam preferensi investor global akibat kebijakan dagang Trump dan ketegangan geoekonomi.
“Fakta bahwa dolar dan obligasi AS tidak menguat dalam situasi seperti ini menunjukkan bahwa daya tarik tradisional instrumen tersebut sedang diuji,” tulis analis Evercore.
Meski demikian, sejumlah analis menilai dampak downgrade tersebut mungkin hanya bersifat jangka pendek. Barclays, misalnya, menyampaikan kepada kliennya bahwa efek penurunan peringkat kemungkinan akan bersifat minimal.
Pejabat The Fed juga masih menekankan pendekatan “tunggu dan lihat” dalam kebijakan suku bunga. John Williams menyatakan bahwa kebijakan saat ini telah berada pada posisi yang tepat untuk menanggapi perubahan yang terjadi. Sedangkan Raphael Bostic menyebut, inflasi yang masih tinggi membuat kemungkinan penurunan suku bunga baru akan terjadi paling cepat akhir tahun.
“Saya pribadi memperkirakan hanya satu kali pemotongan suku bunga pada tahun ini,” ungkap Bostic.